Selasa, 31 Desember 2013

Happy New Year: This Year Goals and Late Last Year Annual Review

January 1, 2014 --> yeay! first post!

Good morning everyone! Happy new year!

Okay, so it’s been a happy new year so far. Guess what! I just went around my neighborhood and no one was around! I know everyone has been celebrating new year like really, really big, and they must have been staying all night till morning. So I’m pretty sure they’re not gonna wake up until noon. Well, hope so. It was really fun taking my dog for a walk with no one around.

It’s kinda late to write some annual review, but here’s my annual review.
My business didn’t go very well last year. I lost the most precious team I ever had. And it was all my fault. I’m totally gonna make it up this year. so I’m not gonna talk so much about business. And it’s my privacy anyway.

But last year was all about love. Maybe some things didn’t work really well last year, but I had a very happy year. I had a wonderful year, wonderful moments with my family, friends, and lovers.
I spent so much time with my family and I really enjoyed it. Last year was full of traveling for my family. Well, I didn’t go to Europe last year like the years before. But I traveled more! And most of the times with my family. And when we were not traveling, we hung out together, just went around, had dinner together.
Let me tell you something. I’m not a good family member. I have the perfect family but I hardly appreciate them. I got wonderful friends and lovers too. But I never appreciate them like last year. Big things happened and I realized how much they all mean to me. They’ve been very loving and caring to me.

You know, I’ve been a very cold-hearted person, arrogant, and used to think that I don’t need anyone. But last year I was attending some… let’s say… seminar, and the speaker asked the audiences if anyone ever hurt us. We had to tell the name, or names, of anyone ever hurt us, then forgive them. I tried so hard to think of a name, but I couldn’t think of any name. Then suddenly I realized, the only thing makes me never appreciate the loves people gave to me, is how easily I got the loves. If love is money, then I’m like a rich kid that never appreciates money because the parents keep showering the kid with money.
So I started to appreciate love, and everything that I have. And I feel so happy.

And I met someone. I won’t tell you much about this special one because it’s kinda privacy, don’t you think? But I’m gonna tell you what makes this person so special to me. When we’re together, we can really talk about things. We can talk about anything. Yes, I have best friends like that too, but it’s different. It’s unexplainable. We love each other for the reasons that make us love each other. This kinda thing is really new for me, so I thought of leaving so many times, but… we just belong together. And this relationship has given me sooo many new knowledge of life. I learnt a lot about happiness. So, I wanna thank you, my one and only… J

Last year has been a roller coaster to me. I love it! I love roller coaster! Yeaaa!
And now I’m gonna make my goals for this year.

This is the goal:


Well, can I?

YES! I can! I'm 100% sure!
I've made a very tight schedule to reach all my goals. So..., let's see!

Sabtu, 21 Desember 2013

Peran Penting Seorang Ibu

Sunday, December 22, 2013

Hari ini adalah sebuah hari yang sangat istimewa bagi semua ibu di Indonesia. Mengapa hanya di Indonesia? Karena hanya di Indonesia Hari Ibu dirayakan tanggal 22 Desember. Mengapa istimewa? Karena… sepertinya hanya satu hari ini saja masyarakat menyanjung-nyanjung peran wanita sebagai seorang ibu.

Seorang ibu, adalah sosok yang paling mulia dan begitu berjasa bagi anak-anaknya. Tanpa mengesampingkan peran ayah, peran wanita sebagai seorang ibu begitu pentingnya dalam keluarga.
Perjuangan yang dimulai dari mengandung selama sembilan bulan, dengan segala masalah dan resikonya, berusaha mencukupi kebutuhan nutrisi calon bayinya walaupun sulit untuk makan di saat rasa mual melanda. Lalu melahirkan, juga dengan segala masalah dan resikonya. Dan perjuangan tidak sampai di situ. Kemudian ibu harus menyusui anaknya, mengajarkan anaknya bicara dan berjalan, menyuapi, mendidik sampai tumbuh dewasa. Menjadi ibu, membesarkan anak-anak sampai tumbuh dewasa, adalah pekerjaan yang memerlukan skill yang begitu tinggi. Tidak ada ilmu pastinya. Setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda, dan karenanya, memiliki masalah yang juga berbeda-beda.
Dan pekerjaan seorang ibu bukan hanya mengurus anak-anak, namun juga mengurus suami, mulai dari bangun pagi, berangkat kerja, pulang kerja, sampai menjelang tidur. Belum lagi mengurus segala urusan rumah tangga. Bahkan ketika memiliki pembantu rumah tangga pun, ibu juga yang harus mencari pembantu, mengawasi pekerjaan pembantu sambil ikut berkerja juga, memikirkan apa yang harus dimasak untuk sarapan, makan siang, dan makan malam.

Itulah peran yang begitu penting dari seorang ibu rumah tangga.

Sayangnya, kebanyakan orang masih sering lupa betapa pentingnya peran ibu rumah tangga. Pada masa yang konon sudah maju ini, isu kesetaraan gender menuntut wanita untuk ikut berkerja, membantu pria mencari nafkah. Kalau memang tuntutan ekonominya begitu, ya mau apa lagi. Masalahnya, kemudian wanita jadi lebih dihargai ketika memiliki karir di luar rumah, ketika menghasilkan uang. Sehingga ada kesan, wanita yang tidak berkarir seolah hanya ‘mendompleng’ pada suami.
Orangtua yang memiliki anak laki-laki, ketika menilai calon istri sang anak, melihat apakah wanita itu berkarir atau tidak, punya penghasilan sendiri atau tidak. Ada beberapa wanita yang ingin maju dalam pendidikan atau karirnya, dengan alasan, agar tidak diremehkan keluarga suami. Apakah tidak cukup bahwa wanita itu memiliki keahlian untuk mengurus suami dan anak-anaknya? Tidak semua wanita mampu menjadi ibu rumah tangga.
Mereka lupa bahwa mengurus rumah tangga, anak-anak dan suami, membutuhkan keahlian dan kesabaran lebih dibandingkan berkerja di kantor. Pekerjaan apapun ada liburnya, ibu rumah tangga liburnya kapan? Pekerjaan apapun ada kenaikan pangkat, penghargaan atas prestasi kerja, pemberian tanda jasa setelah mengabdi sekian tahun, ibu rumah tangga tidak. Ibu-ibu kita tidak mengharapkan tanda jasa, piagam, atau sertifikat penghargaan. Suami dan anak sering lupa untuk menghargai istri dan ibu, bahkan kadang meremehkan dan menyakiti perasaan istri dan ibu.

Masyarakat pada umumnya begitu memuja wanita yang memiliki karir cemerlang. Bukan berarti itu salah. Bukan berarti wanita karir itu salah. Malah sebenarnya tidak ada salahnya. Wanita yang memiliki karir cemerlang memang hebat. Tapi mengapa masyarakat tidak menuntut pria untuk bisa mengurus anak? Mengapa masyarakat tidak memuja-muja pria yang bisa mengatur rumah tangga, mendidik anak-anak, dan melayani istri yang lelah berkerja?
Kalau yang mencari nafkah wanita, dan yang mengurus rumah tangga juga wanita, lalu peran pria apa?
Kalau memang peran pria sebagai pencari nafkah begitu pentingnya dibandingkan peran wanita mengurus rumah tangga dan membesarkan anak, mengapa pria tidak menikahi sesama pria saja?

Wanita bisa saja berkerja mencari uang dan mengejar kesuksesan dalam berkarir kalau mereka mau, tapi pria, sampai kapanpun tidak akan bisa hamil, melahirkan, dan menyusui!
Marilah kita mendukung kesetaraan gender, bukan dengan menuntut wanita untuk bisa melakukan pekerjaan pria, tapi dengan menghargai peran wanita setara dengan kita menghargai peran pria.

Ingat, di balik kesuksesan setiap laki-laki hebat selalu ada ibu dan istri yang hebat ikut berperan di dalamnya.

Terimakasih bagi semua ibu, khususnya ibu rumah tangga, yang telah melakukan pekerjaan yang sangat luar biasa. Terimakasih khususnya kepada wanita yang sangat luar biasa, wanita paling kuat dan paling sabar, ibu yang telah melahirkan dan membesarkan saya.


Selamat Hari Ibu J

Selasa, 10 Desember 2013

Ketika Kita Rela Membunuh Masa Depan

December 11, 2013

Ada yang pernah menonton film berjudul “Looper”?

Film yang dibintangi oleh Joseph Gordon-Levitt dan Bruce Willis ini bercerita tentang orang-orang yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran, yang khusus bertugas membunuh orang yang dikirim dari masa depan, melalui mesin waktu. Profesi inilah yang dinamakan sebagai “Looper”.

Alkisah di tahun 2074, berbagai organisasi kriminal menyingkirkan musuh-musuh mereka dengan cara dikirim ke waktu 30 tahun sebelumnya, untuk langsung dibunuh oleh looper yang sudah menunggu mereka di tahun 2044.
Caranya sederhana. Seorang looper bersiap-siap dengan senjatanya di suatu tempat dan waktu yang telah ditentukan. Begitu kiriman sampai dari masa depan, berupa seorang korban dengan wajah ditutupi kain, tugas looper adalah langsung menembakkan senjatanya ke jantung korban. Tidak ada penundaan, tidak ada kesempatan untuk berpikir. Mereka harus langsung menarik pelatuk begitu korbannya muncul, sebelum mereka berubah pikiran, sebelum korbannya sempat melarikan diri. Dalam hitungan sepersekian detik, peluru langsung ditembakkan.

Para looper memiliki bayaran yang tinggi sekali, yang berupa batangan perak bernilai jutaan dolar, yang diikatkan di bagian punggung setiap korban. Di saat itu, mereka kaya raya dan menghabiskan hidup mereka untuk berpesta-pora. Namun ada harga yang harus dibayar: ketika menyatakan setuju untuk menjadi seorang looper, mereka harus setuju untuk membunuh diri mereka sendiri yang dikirim dari masa depan.
Setelah korban meninggal, looper dilarang membuka penutup kepala sang korban. Mereka hanya boleh mengambil bayaran berupa batangan-batangan perak tersebut. Dan ketika bayaran di balik punggung korban adalah emas, bukannya perak, maka para looper tahu bahwa korban yang baru dibunuh adalah diri mereka sendiri dari masa depan. Itu tandanya mereka pensiun. Tugas mereka sebagai looper berakhir. Dan mereka menikmati kekayaan mereka sampai tiba saatnya mereka menghadapi nasib yang sudah mereka sepakati sendiri: dikirim ke masa lalu untuk ditembak mati.

Menjadi seorang looper sekilas memang enak, dibayar jutaan dollar untuk setiap kasus. Namun ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar, yaitu nyawa mereka di masa depan.

Pertanyaannya, kalau anda yang ditawari pekerjaan semacam itu, apakah akan anda terima pekerjaan tersebut?

Saya rasa sebagian besar orang akan menjawab tidak mau. Mungkin ketika kita menonton ‘Looper’, kita tidak habis pikir mengapa ada orang yang mau menerima pekerjaan semacam itu. Mengapa ada orang yang rela membunuh dirinya sendiri di masa depan hanya untuk kekayaan sesaat?

Baiklah. Mungkin banyak orang berusia 20 sampai 30-an yang tidak rela membunuh diri mereka di usia 50 tahun, walau diiming-imingi bayaran tinggi. Bagaimana dengan usia 60 tahun? 70 tahun?

‘Looper’ memang contoh yang sangat ekstrim. Tapi sebenarnya, tanpa disadari, kita pun seringkali melakukan hal yang sama. Seringkali, kita mengambil keputusan-keputusan sejenis.

Sekarang mari kita bercermin dan melihat apa yang selama ini sudah kita lakukan untuk masa depan kita. Apakah kita sudah cukup minum air mineral setiap hari? Apakah kita sudah berolahraga setiap hari? Apakah kita sudah berkerja dengan maksimal? Apakah kita sudah membina hubungan baik dengan orang-orang yang kita cintai? Apakah kita sudah mengumpulkan aset untuk masa tua? Apakah kita sudah beribadah dan menabung amal untuk di akhirat nanti?

Atau selama ini kita lebih memilih bermalas-malasan di depan TV, nonton gossip sambil makan cemilan? Makan makanan berlemak, junk food? Merokok? Lebih suka minum kopi dan soda ketimbang air mineral? Menghambur-hamburkan uang hasil kerja keras kita untuk kesenangan jangka pendek?

Tanpa disadari, sebenarnya itulah yang kita lakukan sehari-hari. Saat kita memilih untuk menikmati rokok hari ini, sebenarnya kita sedang memberikan penyakit pada diri kita di masa depan. Saat kita mengundur keputusan untuk mulai menabung untuk pendidikan anak, sebenarnya kita sedang menambah beban diri kita di tahun-tahun berikutnya.

Penundaan adalah pembunuh masa depan.

Tiga puluh tahun dari sekarang adalah masa depan. Sepuluh tahun dari sekarang adalah masa depan. Setahun dari sekarang adalah masa depan. Besok adalah masa depan.

Saat kita menunda pekerjaan rumah hari ini, sebenarnya kita sedang menumpuk beban pekerjaan yang lebih berat untuk diri kita sendiri di hari-hari berikutnya. Ketika kita sering memiliki pemikiran semacam, “Mulai besok saja” atau “Mulai minggu depan saja”, “Mulai tahun depan saja”, maka kita akan sering memiliki penyesalan semacam “Seandainya saya memulainya kemarin”, “Seandainya saya memulainya setahun yang lalu”, “Seandainya saya tidak menunda keputusan itu.”

Di penghujung tahun seperti sekarang ini, mungkin banyak dari kita yang menyesalkan penundaan-penundaan yang telah kita lakukan sepanjang tahun.

Karen Lamb* mengatakan, “Setahun dari sekarang, kau akan berharap bahwa kau telah memulainya hari ini.”

Saat kita menunda sebuah keputusan yang baik hari ini, sebenarnya kita sedang merugikan diri kita di masa depan. Mungkin itu 30 tahun dari sekarang. Mungkin 10 tahun dari sekarang. Mungkin setahun dari sekarang, atau satu bulan dari sekarang, atau satu minggu, atau besok. Ingatlah bahwa diri kita di masa depan adalah orang yang sama dengan diri kita saat ini.


Maka buatlah keputusan anda sekarang juga, dan berkorban lah untuk masa depan anda sekarang juga. Karena penyesalan tidak akan mengubah apapun.

*Penulis buku motivasi berkebangsaan Australia

Senin, 26 Agustus 2013

Harga Diri vs. Gengsi

Dalam tiga hari terakhir ini Tuhan telah mempertemukan saya dengan orang-orang yang sangat luar biasa! Selama tiga hari berturut-turut, setiap hari saya bertemu dengan begitu banyaknya orang hebat. Apa yang terjadi?
Hari Kamis dan Jumat kemarin ini saya menghadiri Prudential Agency Convention. Di sana saya melihat begitu banyak orang yang begitu besar, begitu sukses, begitu cerdas, dan luar biasa rendah hati. Dalam dua hari itu saya banyak belajar mengenai kepemimpinan sejati.
Dan kebetulan manager saya baru saja pulang dari konferensi leader di Korea. Beliau termasuk ke dalam 50 leader terbaik di Indonesia, 200 leader terbaik di seluruh Asia (dan karena Asia saat ini memimpin perekonomian dunia, bisa dibilang 200 leader terbaik di Asia adalah 200 leader terbaik di dunia), dan yang lebih hebat, juga sebagai leader  termuda di antara 200 leader tersebut. Leader saya memang luar biasa! Tepuk tangan untuk leader saya.
Jadi, karena selama empat hari terakhir ini saya terus bersama leader saya, dan beliau baru saja mendapat kesempatan untuk bergaul dengan leader-leader tingkat dunia, maka saya pun kecipratan ilmunya, karena ia sharing banyak ilmu yang didapatkannya selama di Korea.
Lalu pada hari Sabtu saya menghadiri acara peresmian House of Perempuan (untuk keterangan lebih lengkap mengenai House of Perempuan bisa dilihat di account twitter @hoperempuan). Di acara itu saya melihat begitu banyaknya wanita yang begitu cerdas, tangguh, mandiri, kreatif, berani, dan tidak melupakan kodrat mereka sebagai wanita.
Ilmu-ilmu yang telah saya dapatkan dari orang-orang hebat di atas selama empat hari ini akan saya coba untuk tuangkan di dalam post-post selanjutnya. Tapi yang pertama akan saya bahas dari pengalaman selama empat hari ini adalah pelajaran yang saya dapatkan mengenai harga diri dan gengsi.

Orang sering salah kaprah mengidentikkan harga diri dengan gengsi. Kadang orang berpikir yang gengsinya tinggi merasa bahwa harga dirinya sangat tinggi, karena itu ia gengsi. Kadang juga orang yang gengsinya tinggi dianggap harga dirinya tinggi oleh orang lain.
“Ngapain minta maaf duluan? Ih, gengsi! Mau di ke manain harga diri gue?”
“Dia lah yang harus nyapa gue duluan, gengsi kali gue harus nyapa dia duluan. Mau di ke manain harga diri gue?”
“Gila aja gue udah sekolah tinggi-tinggi disuruh kerja kaya gitu, gengsi! Mau di ke manain harga diri gue?”
“Harga diri, men! Harga diri!”

Apa sih sebenarnya harga diri? Seperti apa sih sebenarnya orang yang benar-benar menghargai dirinya sendiri? Dan gengsi itu apa sih sebenarnya?

Gengsi
Dilihat dari arti katanya ‘gengsi’ adalah bagaimana cara seseorang mengapresiasi dirinya dengan melihat interaksi orang lain terhadap dirinya. Gengsi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti materi, jabatan, prestasi, status social, dan sebagainya.
Factor utama dari gengsi adalah bagaimana penilaian orang lain terhadap diri. Orang bisa membeli tas bermerk, fitness di tempat mahal, melakukan hal-hal tertentu, berteman dengan orang-orang tertentu, bahkan pacaran dengan orang-orang tertentu, hanya karena gengsi. Orang bisa melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena gengsi.
Gengsi ini erat kaitannya dengan ego atau keakuan. Orang yang sangat memikirkan gengsi senang sekali ketika menjadi pusat perhatian. Ketika orang lain menghargai, mengapresiasi, maka akan menimbulkan kebanggaan terhadap diri.
Orang yang memikirkan gengsi akan terus membanding-bandingkan diri dengan orang lain, dalam konteks negatif. Bila melihat orang lain yang dianggap lebih hebat, orang yang gengsi ini akan iri atau merasa rendah diri. Sementara bila melihat orang lain yang dianggap kurang hebat, ia akan menjadi sombong dan ingin terus memamerkan kehebatannya.
Kadang saya melihat atau mendengar keluhan seperti, “Ah, gue nggak pede nih, yang lain pada cantik-cantik banget.” Atau “Gue minder, temen-temen gue lulusan S2, S3, gue cuma lulusan SMA.” Atau “Wah, mereka kan orang-orang kaya, kayaknya nggak pantes gue bergaul sama mereka, takut nggak nyambung.” Atau cerita seperti, “Dulunya gue nggak pede karena badan gue terlalu kurus, sekarang gue jadi pede setelah punya badan atletis.” Atau “Dulunya gue nggak pede karena gue miskin banget nggak punya apa-apa, sekarang gue jadi pede karena sudah sukses dan kaya.” Dan sebagainya.
Jadi sebelum mereka mencapai standard tertentu, mereka belum bisa menghargai dirinya sendiri.
Dan seringkali, hal-hal yang ditandingkan sama sekali bukan hal yang penting. Contoh paling gampangnya dalam hal pacaran: siapa yang pacarnya lebih cantik, siapa yang pacarnya lebih kaya, siapa yang punya lebih banyak pacar, siapa yang nembak duluan, siapa yang memutuskan hubungan. Hal-hal itu tidak penting, tapi begitu penting bagi gengsi seseorang.
Bisa kita katakan bahwa gengsi sebenarnya adalah harga diri semu.

Harga diri
Yang saya lihat dari orang-orang di sekitar saya dan di luar sana, justru harga diri selalu berbanding terbalik dengan gengsi.
Orang-orang yang sukses dan berhasil adalah orang-orang yang punya harga diri tinggi. Dan berdasarkan pengalaman saya sendiri, bertemu dengan berbagai orang hebat sepanjang hidup saya, orang-orang yang harga dirinya tinggi itu biasanya sangat rendah hati. Mereka sama sekali tidak peduli pada gengsi.

Harga diri memiliki makna yang berbeda. Menurut buku ‘If Life is a Game, These are the Rules’ yang ditulis oleh Cherie Carter-Scott, harga diri adalah bagaimana kita menerima dan mensyukuri diri kita.
Ketika kita memiliki harga diri sejati, kita tidak peduli lagi pada pandangan orang terhadap diri kita. Kita tahu apa yang ingin kita lakukan dalam hidup, kita punya tujuan-tujuan yang jelas, dan karena itu, pandangan orang lain terhadap diri kita tidak lagi penting.
Harga diri sejati datangnya bukan dari luar. Bukan karena orang-orang memuji kita cantik, ganteng lalu kita jadi menghargai diri sendiri. Bukan karena kita punya prestasi akademis, gelar pendidikan, jabatan yang tinggi, kekayaan melimpah, pasangan yang bisa dipamerkan, status social terhormat, atau hal eksternal lain.
Saya melihat begitu banyaknya orang yang hebat, berbakat, berprestasi, sukses, kaya raya, namun sangat rendah hati. Biasanya, semakin kaya seseorang, ia semakin rendah hati. Semakin berbakat seseorang, ia semakin rendah hati. Semakin sukses seseorang, ia semakin rendah hati. Orang-orang yang sudah sukses, kaya raya, dan mendapatkan pengakuan biasanya tidak suka memamerkan apa yang mereka punya. Mereka biasanya lebih sering mendengar orang lain bicara daripada sibuk membicarakan kehebatan diri sendiri.

Justru orang-orang yang kurang percaya diri, biasanya sibuk membanggakan diri sendiri. Mengapa? Karena mereka merasa rendah diri. Mereka berpikir bahwa, kalau bukan mereka sendiri yang menceritakan kehebatan mereka, siapa lagi? Tidak jarang orang-orang yang rendah diri ini sebenarnya sudah hebat. Tapi mereka ragu apakah kehebatan mereka diakui orang lain.
Sebenarnya, orang-orang yang kita anggap, kira, tuduh sombong, adalah orang-orang yang kurang percaya diri. Seringkali kita mendengar kata-kata “Gue itu sebenernya pemalu. Makanya orang kalo belum kenal suka ngira gue sombong.”
Bahkan mungkin saja kita salah satu orang yang pernah mengakui hal itu.
Saya sendiri termasuk orang yang pemalu di lingkungan baru, dan mungkin saja orang di sekitar saya merasa kalau saya sombong. Dulu saya orang yang sangat tertutup, tidak mau bergaul. Apakah harga diri saya tinggi? Tidak. Justru harga diri saya rendah. Orang yang harga dirinya tinggi pasti penuh percaya diri dan supel dalam pergaulan.

Harga diri sejati adalah saat kita menyadari bahwa diri kita sejak awal sudah berharga. Saat kita menghargai diri sendiri, kita akan malu untuk melakukan hal yang buruk atau salah, dan kita akan selalu menuntut diri kita untuk melakukan hal yang baik dan benar. Harga diri kita terlalu tinggi untuk mencuri. Harga diri kita terlalu tinggi untuk berbohong. Harga diri kita terlalu tinggi untuk berkhianat. Orang yang menghargai dirinya akan selalu berbuat kebaikan.
Harga diri sejati datangnya dari dalam. Bagaimana kita tidak perlu menunggu kekayaan dan kesuksesan untuk menghargai diri kita sendiri. Justru karena kita menghargai diri sendiri, kita akan merasa bersyukur dengan diri kita, menghargai apa yang kita punya, termasuk pasangan kita. Dengan menghargai diri sendiri, kecantikan pun akan terpancar dari dalam. Karena itu ada yang namanya ‘inner beauty’. Dengan menghargai diri kita sendiri, kita akan bisa memaksimalkan potensi-potensi yang ada, dan secara otomatis, kekayaan dan kesuksesan pun akan datang dengan sendirinya.


Salam sukses untuk kita semua!

Jumat, 23 Agustus 2013

I’m Against Criminal Rehabilitation

These days I’ve been hearing some sad incidents, again, and again, and again. Well, here it is, the sick society. I’ve heard about the jail breaker, cops murdered, and rapes are everywhere. The last thing I heard about rape, a teenager raped a housewife in her house or something. Ew!
And you know what annoyed the hell outta me? People’s sympathy for those criminals. Why, people? Why? Seriously!
So I wrote this down just to share my opinion, my point of view, that’s all. I wanna share this so that I don’t need to keep this just for myself. It’s torturing, keeping an idea, isn’t it? You can agree or disagree with me but I will stop talking about it as I’ve published this post. So, here it is, my point of view of criminality and punishment.

I’m gonna talk about three criminals: murderer, rapist, and robber. I don’t think those three criminals deserve forgiveness. They deserve punishment. No mercy.
The first is murderers, those who’ve taken people’s life. I’m not talking about killing someone because she/he’s been killing the loved ones, killing someone for defense, or killing someone because you’re an executor for death penalty. In fact, I do think that those kinda killings are very nice to do, or at least, very proper to do, not wrong. If I could, I’d kill someone who tried to rob me, to defense myself.
So I’m not talking about those kinda killing. I’m talking about the cold blooded murderers who can take someone’s life for no reason. They who take someone’s life just because they wanna take the victims’ money; or they who take someone’s life just because of jealousy; or they who take someone’s life just because of their pride being hurt; or they who take someone’s life just because they were drunk and angry; or just because they’re psychopaths. Arrrhhh! It pissed me off!
The second is rapists. Do I need to explain to you why do I hate the rapists? Why do I want them to be punished? Should I explain? They rape! They rape, people! They rape someone’s daughter, someone’s sister, someone’s mother! Can you imagine? Can we forgive them? Hello! Guys, wake up! They’re rapist!
And the third, robber. Well, by robber, I mean everyone who takes, steals, other people’s money and valuable belongings. This one is mostly forgiven by most warm-hearted people. They said, “Ah well, they’re poor… Let’s just forgive them.” Or “They just steal a cow. We don’t even punish the ones who’ve stolen billions (rupiahs/dollars/euro/you name it).” Or “Oh let them be, it might be for their children who need food.” Guys! They steal! They’ve taken people’s valuable things, that’s it.
Some people say, “Ah, how unfair! A man steals a motorcycle and he’s burnt to death, and the corrupters are still free out there.” So what do you suggest? Let’s just forgive the motorcycle’s stealer? For you it might be only a motorcycle. But for the owner, it might be his most valuable thing. Imagine what he’s done to earn enough money to buy that motorcycle. The solution is not to let both the corrupter and the motorcycle stealer free, but to catch, punish, torture, kill both the corrupter and the motorcycle stealer.
Now I’ve seen some ex-murderers, ex-rapists, and ex-robbers/burglars/whatsoever. They said they were sorry. They feel guilty for what they’ve done. And then most people forgive them, and believe God must have forgiven them too. Well, yeah, I do believe God does forgive, but I also believe they’d still be punished for what they’ve done. So it’s punish and forgive, not only forgive. Because God is not only forgiving, but also fair, right?
So let’s say this ex-criminal has been ‘enlightened’. He became a ‘good guy’. He’s helping people, he’s happy now, he has accepted his past and has a peaceful life. My question is: will he let his victim to pay some revenge to him? Will him? What do you think?
Let’s say, someone once killed a man, a young man with bright future, maybe was the hope of his family. That young man was killed by a cold blooded murderer, maybe the murderer killed him just to rob his wallet. His family lost him forever. The murderer went to jail, had some food, some place to sleep, so much better life than before he killed someone. Then he felt enlightened. He felt sorry, he felt guilty, and because he acted well, he got remission. He got outta jail. He thought he’s a different person. People thought that he’s a different person. He started a business; he earned some money, live peacefully. Then the family of the young man who’s been killed came to him. Let’s say the father of the man wanted to kill the murderer of his son. Will the ex-murderer, the ‘enlightened’ murderer let him? I don’t think so.
Those ex-criminals would say, “I’ve chose to forgive myself. I deserve my second chance.” They feel too good about themselves they wouldn’t let anyone make them believe that they are still guilty to their victims. They’ve made some destruction in some lives. But it’s the victims’ choice, isn’t it? Okay. Now let’s forget about the Lapindo victim? Let’s tell them to forget the past and start the new life? Let it be?
If the criminals really think that they’re guilty, they would be no pleading of remission! There would be no protests over the overloaded capacity in jail. They would be no prisoners asking for their right! Right? Are they kidding? They’re criminals! They’ve taken other people’s right! How could they ask for their right?? What a sick… pff… okay, starting to be too emotional here.
See what happened when we tried to rehabilitate criminals? They'd think they deserved even more hospitality.
Solution for prison overloaded capacity issue: kill some prisoners! D'oh!
“But my religion taught me that God is forgiving, not punishing,” said someone whose religion believe in heaven and hell. D’oh! What about my religion? Is my God not forgiving? My religion also taught me that God is forgiving. But God is also punishing. Or else, why would there be a hell?
No, it’s not about God is forgiving them or not. It’s not about God at all. It’s about the message we can send to the society. What would this society be if there is no punishment? What would this society be, if every criminals can be forgiven and have beautiful life after what they’ve done. Those poor bastards would think, “Hey! I’m gonna rob someone! Maybe I should also kill the person. So I can go to jail, I’m gonna have some food there, I’m gonna have something to sleep at night, I’m gonna have electricity, they’re gonna teach me life lessons for free, then I’ll have knowledge of how I should build my life, then I’ll be a good person, maybe I’ll be a hero someday.” Great idea, huh? What do you think?

So yeah, I hate murderers, rapists, and robbers. There, I’ve said it out loud.
Every murderer, rapist, and robber should be burnt alive. They should be tortured to death. No, I have no sympathy, why should I?
Yes, I might forgive. I will forgive for the sake of my sanity. I will forgive for the sake of my life efficiency. But it doesn’t mean I’m against their punishment. I’ll still support their punishment. I’ll still think that they deserve to be punished. Why? Because I care about other people. I don’t want those criminals to do what they’ve done to another victims. Because if we don’t punish the criminals, there will be no law! They would be free to do anything they want: rape, kill, rob people, steal. There’s no punishment anyway!
And what more ridiculous is, those who have sympathy for the rapists, murderers, and robbers, are against corrupters. Come on! Whoever against death penalty, whoever supports forgiveness, I ask you now, can you forgive the corrupters?

Imagine a corrupter, he corrupted, A LOT, he became very rich, happy, spoiled his children with money, then he felt fulfilled, and decided to change. He asked for forgiveness, he felt really sorry about what he’s done, he cried, “I’ve corrupted, but I couldn’t do anything to change my past. Please, forgive me!”
Let’s just forgive the corrupters? Let’s just forgive the activists murdering? Let’s just forgive the terrorists. How does that sound, huh? Can we forgive them? Let them be? Yeah, I don’t think so. Stealing is stealing, robbing is robbing, no matter how much the amount was. Murdering is murdering, no matter the motives are.

So what do I suggest? I suggest that we just have to give them death penalty, right away, no procrastination. There will be two possibilities: they’re forgiven by God, or they’re not forgiven by God. If they’re forgiven by God, then they’ll go to heaven anyway. If they’re not forgiven by God, then why should we? No procrastination, just execute them, give them to God.
We will not have problems with jail capacity, lack of electricity, lack of food and blah, blah, blah. Who cares? They’re criminals for God sake!
Okay, you can say “We are all criminals.” We cheat, lie, smoke, envy, gossip, etc, etc… right? Well, I’d prefer be cheated than be killed. I’m pretty sure those fathers would prefer their daughters be cheated than raped.

And btw, you know what? I am a criminal. I’m not perfect, I’m not an angel. I’ve done bad things too. But if I’ve done something bad to you, go ahead, punish me. I might be sad, angry, miserable, but I deserve it, don’t I? I’ve never killed, raped, or robbed anyone, and I will not do so. I’m not saying that I’m better than those criminals. I’m just saying that they deserve the punishment, as I deserve mine, that’s all.
I will not waste my time thinking about this problem. But if I have to vote, I’ll vote against criminal rehabilitation. I’ll vote for criminal punishment. I’ll vote for death penalty for everyone who takes people’s life, who rapes, and who steals and robs. I will not have sympathy for them. If they have accident, if something terribly bad happens to them, I will be glad. I won’t waste my time and energy to be angry to them, but I’ll be glad to watch their misery. When something bad happened to them, I would not say “Sorry to hear that” to them. I’d say “You deserve what you deserve” instead.

Finally done this article. Ahh, now I feel relieved.

Selasa, 06 Agustus 2013

Passion of Happiness

I care about people happiness.

I believe in being happy.

I want people to be happy with their life, their job, their condition, their family, their environment, their identity, themselves. I want people to be happy about how they look. I want people to be happy about how they think and how they see the world. I want people to be happy to learn.

I want people and me, to share our ideas, but not forcing it. We don’t have to agree with each other, but don’t push people too far, not to the point that we’d kill each other for the sake of ideas.

Like it or not, we will always grow, one way or another. We will always chase something in our life. It can be knowledge, it can be money, it can be love, it can be heaven, it can be justice, it can be world peace…, it can be anything. You can’t force people to look for love if it’s not what they care.

Someone told me that each people have their own portion in life. We are different, but are one. When we do whatever we do, or don’t do whatever we don’t, we move other people to do whatever they do, or don’t do whatever they don’t, and it starts the chain of movements, and it moves the whole world.

Even if we do the same thing over and over again, and make no improvement in any aspect of our life, we’ll grow a record, we’ll grow an identity. Like that man who makes Soto in my high school cafeteria. He’s been making Soto since… forever. People change, but not him. He doesn’t change, but people around him know him as the Soto maker. People do things while witness his career as Soto maker. Not just people around him, but people around people around him, and those people around people around people around him. 
Every Pembangunan Jaya High School students and alumni knows him, and some will tell about him to some groups of friends. Just like me now, telling about him on my blog. :p

So what do I do in my life? I’m learning about things I care about. I share ideas. I share what I believe. Then maybe some people don’t agree with me. And let’s welcome their disagreement. It’s just beautiful.

I do my best, God helps me with the rest, and I’ll just enjoy the progress.

So people, thank you for fighting for your idealism. But don’t be too upset about the results. Everything happened happens for a reason anyway.

Don’t be upset about others’ ignorance. And remember, it’s not ignorance. They just have something else to care about. And there’s nothing wrong with it. There are too many things to be care about. While you force people to care about what you care, it’s impossible that you care about what they do care.

And I’m gonna have to say this quote from Mary Engelbreit*: “If you don't like something change it; if you can't change it, change the way you think about it.”

Happy life people! Cheers! :D



*world renowned artist and illustrator

Kamis, 18 Juli 2013

Orangtua yang Luar Biasa

Tidak seperti empat postingan terakhir, postingan saya kali ini hanya ingin bercerita saja mengenai ayah saya dan orangtuanya, karena saya sangat bangga pada mereka, mengidolakan mereka, dan berterimakasih pada mereka atas cara mereka mempengaruhi hidup saya.

Saya seringkali menulis mengenai ayah saya. Ayah saya adalah sosok yang luar biasa bagi saya. Sejak kecil, saya mengagumi beliau karena beliau ini orangnya serba bisa. Mulai dari matematika, musik, seni rupa, ilmu bumi, sejarah, pokoknya minat dan wawasan beliau sangat luas. Beliau juga orang yang telah berhasil menghidupi keluarganya dengan serba berkecukupan. Ayah saya juga gagah, awet muda, pokoknya bangga lah punya ayah seperti ayah saya.

Tapi itu semua hanya apa yang bisa dilihat dari luar. Ada banyak pria lain di luar sana yang gagah, tampan, mapan, dan serba bisa. Apa yang membuatnya sangat istimewa?
Bagi saya, yang membuat Ayah saya sangat istimewa adalah caranya mendidik dan membesarkan anak.

Pada dasarnya, ayah saya adalah seorang yang cerdas, bijak, filosofis, dan reflektif. Beliau adalah ayah yang luar biasa hebat dan saya yakin, saya bukan beranggapan demikian karena beliau ayah saya sendiri.

Apa hal yang biasa menjadi topik pembicaraan antara anda dengan ayah anda sehari-hari?

Ayah seringkali bicara mengenai filsafat kehidupan dan hal-hal yang berhubungan dengan refleksi diri. Ayah saya senang membaca dan berpikir. Kadang beliau berbagi pikirannya melalui tulisan. Seringnya pikiran-pikiran itu dibagi juga melalui pembicaraan dengan saya dan adik-adik.

Seringkali, saat sarapan bersama di meja makan, ayah melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Yang dimaksud seorang intelektual, itu orang yang bagaimana sih?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat saya dan adik-adik berpikir. Pada saat-saat seperti itulah kami saling bertukar pikiran.
Ayah saya itu senang mengobrol. Tapi obrolannya bukan sekedar obrolan ngalor-ngidul yang buntut-buntutnya gosipin orang. Bahkan pada saat kami gosipin orang pun, ujung-ujungnya akan kembali pada refleksi diri. Iya, tetap saja gosipin orang itu tidak baik, dosa.

Ternyata, ayah saya pun memiliki sepasang orangtua yang luar biasa hebat, apalagi untuk ukuran masa itu.
Ayah dan ibu saya sering bercerita mengenai orangtua mereka. Dan saya melihat betapa hebatnya orangtua ayah saya, yang saya panggil Opa dan Uti semasa mereka masih ada.

Opa dan Uti mendidik ayah saya dan saudara-saudaranya dengan metode pendidikan yang sangat modern. Di saat orangtua lain masih mendisiplinkan anak-anak mereka dengan cara memukul, Opa dan Uti sudah tidak pernah melakukannya.

Orangtua lain, pada masa itu, bahkan masih banyak orangtua masa kini, ketika bilang sesuatu, atau melarang sesuatu, pokoknya larang saja. Disuruh A ya anak harus lakukan A. Dilarang B ya anak jangan lakukan B. Anak harus nurut, titik. Kenapa? Ya pokoknya begitu. Namanya orangtua, pasti semua yang dikatakan pada anaknya, maksudnya pasti baik. Tapi cara penyampaiannya bisa saja salah.

Opa dan Uti, tidak mendikte atau melarang-larang anak-anak mereka. Opa dan Uti selalu memberi pemahaman mengenai hal-hal yang baik maupun buruk, dan memberi kepercayaan pada anak-anak untuk memilih apa yang menurut mereka lebih baik. Nyatanya, anak-anak mereka pun tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika diberikan pemahaman yang cukup mengenai hal-hal yang baik maupun yang buruk, anak-anak paham apa konsekuensi dari setiap pilihan mereka, maka biarpun diberi kebebasan, mereka akan tetap memilih yang baik.

Terutama yang paling saya kagum dari Opa dan Uti, mereka tidak pernah mendorong anak-anak untuk segera menikah. Orangtua jaman sekarang saja masih banyak yang menyuruh-nyuruh anak-anak mereka untuk segera menikah. Akibatnya, banyak pernikahan yang terlalu dipaksakan. Banyak orang yang terpaksa menikahi orang yang tidak dicintainya, hanya karena sudah dikejar target. Dan bagi yang tetap idealis ingin menikah dengan orang yang diinginkan, malah jadi stress sendiri ketika jodoh yang ditunggu tidak kunjung datang.

Tapi Opa dan Uti tidak seperti itu. Mereka tidak pernah memusingkan kapan anak-anak mereka akan menikah. Mereka lebih menekankan pada anak-anak untuk menjadi orang yang mandiri, punya prinsip, dan kritis. Mereka tidak mendorong anak-anak untuk menikah, tapi mendorong anak-anak untuk mengejar ilmu, mencari pengalaman hidup, berkeliling dunia, dan menjalankan apapun yang menjadi passion (apa ya bahasa Indonesia yang tepat?) mereka masing-masing. Opa dokter gigi, tapi anak-anaknya ada yang sekolah pilot (ayah saya), sekolah make up, fashion, dokter umum, dan ada juga yang tetap ingin meneruskan jejak menjadi dokter gigi. Yang pasti, semua bahagia dengan pilihan masing-masing. Saudara-saudara ayah saya wanita-wanita karir yang mandiri, dan ketika mereka menjadi seorang ibu rumah tangga, mereka menjadi ibu rumah tangga yang luar biasa. Mereka tidak lantas meremehkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Karena Uti pun seorang ibu rumah tangga yang ideal dan serba bisa.

Yah, soal menikah, sekali lagi, baik dan buruk itu kan persepsi. Mungkin di luar sana ada saja yang beranggapan, menikah dengan orang yang tidak dicintai lebih baik daripada tidak sama sekali. Tapi menurut saya pribadi, menikah itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.
Saudara-saudara ayah saya ada yang menikah muda, ada yang menikah cukup tua. Tapi semuanya bahagia dengan pasangan hidupnya masing-masing. Saya melihat pernikahan-pernikahan dalam keluarga ayah saya semuanya begitu indah, penuh cinta dan pengertian.

Maka ayah dan ibu saya pun tidak pernah mendesak anak-anaknya untuk segera menikah. Bagi mereka itu bukanlah hal yang penting. Yang lebih penting adalah menjadi orang yang baik dan berguna bagi orang lain.
Saya tidak sempat benar-benar mengenal Opa. Beliau meninggal saat saya masih kelas 5 SD. Saya dekat dengan Opa. Saya juga ingat betapa sayangnya Opa pada saya, dan betapa sayangnya saya pada Opa. Tapi saya belum sempat cukup memiliki pemahaman mengenai seperti apa Opa. Saya hanya ingat beliau sebagai kakek yang begitu menyenangkan, seperti kakek-kakek idaman dalam film.

Ternyata, Opa saya itu orangnya persis ayah saya. Opa itu cerdas dan filosofis. Ternyata, bagaimana ayah saya bicara dengan anak-anak beliau, seperti itulah Opa bicara pada anak-anak beliau. Opa sering membicarakan hal-hal yang filosofis, membiarkan anak-anaknya untuk memiliki pemikiran-pemikiran yang mendalam mengenai berbagai hal.

Opa dan Uti senang membaca buku. Ayah dan saudara-saudaranya pun senang membaca buku. Ketika saya bicara dengan saudara-saudara dari ayah saya, kami tidak hanya bercanda dan bertukar informasi terbaru, namun juga saling bertukar pikiran.


Ternyata, ketika menjadi orangtua, seseorang akan meniru cara orangtuanya menjadi orangtua. Mereka akan belajar banyak baik-buruknya cara orangtua mereka mendidik dan membesarkan mereka. Baik ayah maupun ibu saya begitu mengagumi cara kedua orangtua mereka mendidik mereka. Alhasil, ayah saya mendidik kami dengan cara orangtuanya, dan ibu saya mencoba mendidik kami dengan cara orangtuanya.

Saya melihat bahayanya bila seseorang dididik dengan cara yang kurang baik, lalu mereka mengagumi orangtuanya, sehingga merasa bahwa cara didik orangtuanya sudah benar. Ada anak yang sangat dimanjakan dengan materi oleh kedua orangtuanya. Anak itu sangat bangga dan senang karena orangtuanya memanjakan dengan materi. Maka, saat memiliki anak, ia pun akan memanjakan anaknya dengan materi.

Seorang anak tentara sangat bangga dengan ayahnya yang begitu keras dalam mendidik anak. Semasa kecil, kalau ia dan saudara-saudaranya tidak duduk dengan tegak, maka punggungnya akan dipukul. Maka ketika ia menjadi orangtua, ia pun akan mudah untuk memukul anaknya.

Ada orangtua yang sangat penuh dengan curiga dan ketakutan, karena begitu ingin melindungi anaknya. Ternyata sang anak begitu mengidolakan si orangtua. Maka ketika menjadi orangtua, anak itu pun menjadi penuh curiga dan ketakutan, karena dikiranya itulah cara terbaik untuk melindungi anaknya.

Anak dari orangtua yang rasis kemungkinan besar akan menjadi rasis. Anak dari orangtua yang pemarah kemungkinan besar akan menjadi orang yang pemarah. Bagaimana cara orangtua bicara pada anaknya, kemungkinan besar akan seperti itulah cara bicara sang anak kelak.

Sebagian besar anak begitu mengidolakan orangtua mereka, termasuk saya. Karena itu, berhati-hatilah saat menjadi orangtua. Saya pernah bertanya pada diri saya di masa lalu, "Menjadi baik atau menjadi jahat itu pilihan. Tapi, saat punya anak nanti, manakah yang akan saya pilih?" Jawabannya tentu menjadi orang baik.

Bicara soal orangtua yang luar biasa, saya percaya, hampir semua orangtua (mungkin sekitar 75%) menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Apapun yang mereka lakukan pada anak, adalah yang menurut mereka terbaik. Hanya saja, masih banyak orang yang merasa cukup puas dengan meniru cara orangtua mereka mendidik mereka. Mereka merasa tidak perlu untuk belajar lebih banyak mengenai menjadi orangtua yang baik.

Untungnya, seiring perkembangan jaman, semakin banyak pula orang yang sadar untuk mempelajari cara-cara terbaik untuk mendidik dan membesarkan anak. Saya pun yakin, orangtua ayah saya pasti belajar cara mendidik anak yang baik, sehingga mereka bisa menerapkan cara yang begitu luar biasa dalam mendidik anak-anak mereka. Dan yang perlu dilakukan oleh anak-anak mereka tinggal meniru orangtuanya.
Terimakasih, Opa dan Uti. :)

Rabu, 17 Juli 2013

Hijab

Suatu hari pernah muncul sebuah pertanyaan dalam benak saya, “Seandainya setiap orang di muka bumi ini telanjang, apakah saya akan malu untuk menjadi satu-satunya orang yang mengenakan pakaian?”

Ada beberapa orang di sekitar saya yang mengatakan sesuatu yang negatif mengenai orang-orang, terutama wanita, yang mengenakan pakaian minim. Menurut mereka, wanita-wanita itu terlalu banyak mengumbar tubuhnya. Kadang sesama wanita sering mengomentari betapa pendeknya celana atau rok wanita lain, belahan dada si anu terlihat jelas, bule suka berpakaian terbuka sehingga banyak terjadi seks bebas, dan sebagainya. Anehnya, pada saat yang sama mereka juga menganggap bahwa wanita tidak seharusnya berhijab yang kainnya panjang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan.

Memang benar, lebih hebat, lebih baik, apabila pria-pria dapat menahan nafsu saat di kondisi ‘normal’ seperti sekarang ini, di mana wanitanya telanjang tidak, pakai hijab juga tidak. Alangkah lebih mudah bagi para pria untuk menahan nafsu saat semua manusia menggunakan hijab. Sehingga, kalau seorang pria terbiasa melihat semua wanita menggunakan hijab, ketika melihat sedikit saja bagian tubuh wanita, yang mungkin hanya jempol kaki, sang pria tersebut bisa langsung nafsu.

Mungkin saja itu benar. Mungkin juga tidak.
Apakah hijab membuat wanita jadi lebih tidak menggairahkan? Apakah itu tujuannya? Untuk menghormati pria? Untuk menjaga agar pria tidak berbuat dosa?

Kalau dilihat seperti itu, jelas saja para wanita akan memprotes. Pria yang nafsu, pria yang dosa, kok wanita yang disalahkan? Kok wanita yang harus menjaga? Bagaimana dengan prianya? Lalu hijab dianggap sebagai sebuah bentuk pengekangan terhadap hak asasi wanita. Hak asasi yang mana?

Saya pernah membaca sebuah buku panduan berwisata yang ditulis oleh seorang wanita berhijab. Dalam buku itu, sang penulis berkisah, seorang temannya yang bule bertanya padanya, “Mengapa orang-orang muslim mengekang wanitanya dengan mewajibkan berpakaian seperti itu?”

Si penulis menjawab, saya lupa kata-kata persisnya, intinya, “Siapa bilang saya dikekang? Kalau saya tidak mau memperlihatkan tubuh saya, bagaimana? Itu kan hak saya.”

Saya tidak memandang hijab sebagai cara untuk menahan nafsu pria. Nafsu dan kegairahan itu sifatnya begitu relatif. Ada pria yang melihat wanita telanjang malah tidak bernafsu, justru kalau mengenakan sedikit pakaian, lebih membuat nafsu. Ada pria yang lebih bernafsu dengan wanita yang mengenakan seragam sekolah. Ada pria yang lebih bernafsu pada wanita yang mengenakan kostum ayam. Selera orang dalam soal nafsu begitu berbeda. Bahkan, ada lho, pria yang bernafsu melihat wanita berhijab.

Nafsu seksual pria itu akan selalu ada, tidak saja pada wanita, tapi juga pada sesama pria, anak kecil, bahkan pada yang bukan manusia sekalipun.

Jadi hijab bukanlah untuk merendahkan posisi wanita, untuk memberi wanita beban yang begitu berat, yaitu menjaga nafsu birahi para pria, bukan.

Hijab adalah cara wanita untuk menghormati bagian-bagian tubuhnya sendiri. Karena mereka yang mengenakan hijab, begitu menghargai setiap inci bagian tubuhnya sehingga tidak menginginkan siapapun untuk melihat bagian tubuh yang mereka hargai.

Saya sendiri tidak mengenakan hijab. Saya berpakaian seperti wanita pada umumnya, kadang mengenakan celana panjang dan kemeja, kadang lengan pendek. Kadang saya juga mengenakan rok selutut. Bayangkan saja, bagaimana kalau ada orang yang berkata pada saya, “Star, elo kok mau aja dikekang, suruh pakai baju seperti itu? Apa lo nggak pingin pakai baju yang lebih ‘bebas’? Memang dada lo harus ditutupin ya? Nggak panas?”

Apakah saya merasa terkekang harus menutupi dada, perut, dan punggung saya? Apakah pakaian saya menutupi sebagian tubuh saya agar tidak ada pria yang bernafsu? Tidak. Saya hanya tidak ingin memberikan orang lain akses untuk melihat bagian-bagian tubuh yang saya tutupi.

Dan ternyata, semakin maju peradaban, para wanita semakin memperlonggar batasan-batasan mereka untuk bagian tubuh yang diperbolehkan untuk diperlihatkan pada pria. Wanita pada awal abad 20 tidak mau memperlihatkan lengan, paha, bahkan betis mereka. Tidak ada yang mengenakan pakaian yang memperlihatkan lengan, paha, dan betis mereka karena pada saat itu, lengan dan kaki adalah bagian tubuh yang memalukan untuk terlihat. Di dekade 1920 – 1930 wanita mulai memperlihatkan punggung, lengan, dan sebagian kaki mereka. Setelah perang dunia ke dua, batasan-batasan itu semakin longgar. Para wanita mulai mengenakan rok-rok mini dan atasan tanpa lengan. Dan sekarang, Lady Gaga bisa jalan dengan gagahnya hanya dengan mengenakan celana dalam.

Ada pria yang ingin melihat wanita hanya mengenakan pakaian dalam? Ada wanita yang ingin berkesempatan memamerkan payudaranya tanpa harus menjadi model majalah pria dewasa? Mudah. Buatlah itu menjadi trend. Buatlah seolah wanita yang menutupi payudaranya adalah wanita yang terjajah hak asasinya.


Seandainya setiap orang di muka bumi ini telanjang, apakah kita akan malu untuk menjadi satu-satunya orang yang mengenakan pakaian? Ya. Mungkin saja kita akan malu.

Senin, 15 Juli 2013

Yang Maskulin Selalu Lebih Baik (?)

Artikel di bawah ini sebenarnya adalah sebuah artikel yang saya tulis bertahun-tahun lalu di kamar kosan saya semasa kuliah. Artikel ini kemudian saya muat di link berikut:


Dan entah mengapa tidak saya masukan di blog saya sendiri. Jadi sekarang saya akan memuatnya kembali di sini.

:

Yang Maskulin Selalu Lebih Baik (?)

Apa yang muncul di pikiran anda saat mendengar kata ‘banci’?
Dan apa yang muncul di pikiran anda saat mendengar kata ‘wanita tomboi’?
Saya bisa bilang, mayoritas pembaca mungkin mengerutkan kening dengan rasa geli atau tidak suka ketika mendengar kata ‘banci’, dan mungkin biasa saja, atau malah tertarik mendengar kata ‘wanita tomboi’.

Saya merasa beruntung menjadi wanita. Mengapa? Karena bila wanita melakukan apa yang biasa dilakukan pria, maka orang-orang akan kagum. Kebetulan saya menyukai olahraga-olahraga tertentu yang lebih banyak disukai oleh pria. Dan ternyata, bagi sebagian besar orang, itu malah menjadi daya tarik saya.
Ironisnya, bila ada pria yang menyukai hal-hal yang biasanya disukai wanita, yang terjadi justru sebaliknya. Pria itu akan dianggap banci dan dicemooh. Seringkali saya mendengar komentar seperti, “Ih, itu cowok tapi kok dandan banget?” Seriously? What is so wrong with that actually? Apakah salah ketika seseorang ingin tampil rapi dan enak dipandang?

Jujur saja, yang saya lihat, kebanyakan wanita lebih senang bila dianggap tomboi, beberapa pria lebih suka kalau pasangannya agak tomboi, sementara mungkin semua wanita mendambakan pria yang ‘cowok banget’, dan tentu tidak ada pria yang senang dianggap banci. Kata ‘banci’ memiliki konotasi negatif karena merepresentasikan sisi feminine dari seorang pria.

Ketika seorang pria berani menyakiti seorang wanita, maka komentar orang-orang, “Beraninya sama wanita! Dasar banci!”
Ketika seorang pria menunjukkan sifat pengecut, maka ia akan dibilang banci. Ketika seorang pria manja, ia dibilang banci. Bahkan pria juga bisa melakukan apapun dengan ancaman ‘dibilang banci’.

Sementara seorang wanita yang mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain, dibilang ‘tomboi’. Wanita yang serba simple dan praktis, dibilang ‘tomboi’. Wanita yang suka olahraga, dibilang ‘tomboi’.
Begitu banyak hal negatif yang dikonotasikan dengan kata ‘banci’, sementara begitu banyak hal positif yang dikonotasikan dengan kata ‘tomboi’.

Memperhatikan penampilan, ingin tampil bagus di mata pasangan, sensitif, memperhatikan pasangan dengan detail, bagi saya adalah sifat-sifat yang identik dengan wanita, dan merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif. Namun, bila pria melakukannya, orang tidak akan menyebutnya ‘banci’, atau ‘feminine’, karena menyebut pria ‘banci’ atau ‘feminine’ bukanlah sebuah pujian bagi masyarakat umum. Pria itu akan dianggap pria idaman saja, bukan pria feminine.

Sementara, suka gonta-ganti pasangan, yang notabenenya identik dengan pria, bila wanita yang melakukan, wanita itu tidak akan disebut ‘tomboi’, tapi malah dicap ‘murahan’.
Ketika orang-orang mengetahui kegemaran saya bermain sepakbola, mereka dengan mudah menyebut saya tomboi, padahal saya feminine, dan saya tidak merasa itu sebagai pujian. Sementara ketika saya melihat seorang pria yang lembut, sensitif, dan perhatian, saya tidak bisa memujinya, “Wah, saya kagum pada anda, anda feminine sekali.” Ia pasti malah akan tersinggung.

Masyarakat melihat maskulin sebagai sifat-sifat pemberani, praktis, berpikir dengan logika, mandiri, kuat, bertanggung jawab.
Mengapa kita tidak melihat feminitas dari sisi yang lebih baik, seperti kelembutan, intuisi, sensitifitas, pengertian, detail.
Jadi, sekali lagi, masalahnya di sini adalah, mengapa ‘tomboi’ itu pujian dan ‘banci’ itu cercaan?

Sabtu, 13 Juli 2013

Lucu

Akhir-akhir ini saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu saya daripada biasanya. Kami banyak mengobrol mengenai berbagai hal yang memberikan saya pelajaran berharga. Salah satu yang sering menjadi bahan perbincangan kami adalah seorang paman ibuku yang tinggal di Belanda.

Paman ibuku ini orangnya agak eksentrik. Usianya sudah begitu tua, 84 tahun, laki-laki (ya, iya lah, namanya juga paman, bukan bibi), tidak pernah menikah, sudah tinggal seorang diri di Belanda sejak muda. Ia tidak punya teman, tidak senang bergaul, penuh rasa curiga, dan selalu ketakutan. Paman ibuku ini sudah buta karena terkena katarak, dan kini tinggal di sebuah panti jompo di Belanda sana.

Saya pernah beberapa kali mengunjungi panti jompo tersebut bersama ibu dan sepupu saya. Paman ibu saya itu pun beberapa kali pernah berlibur ke Indonesia. Saya melihat, orang-orang yang mengenalnya, termasuk saya, sependapat bahwa pria tua ini sudah pikun, tidak tahu apa-apa, selalu mengeluh mengenai kehidupan dip anti jompo, tapi tidak pernah betah berlama-lama di Indonesia, nyinyir, keras kepala, dan sebagainya.

Nah, apakah ibu saya pernah bicara sesuatu yang jelek sedikitpun tentang pamannya? Tidak!

Ibu saya begitu mencintai pamannya. Setiap tahun ibuku selalu menyempatkan untuk mengunjungi pamannya, karena begitu sayangnya pada sang paman. Dengan sabar dirawatnya sang paman yang buta, dimanjakan, dibuat senang. Setiap perkataan ibuku mengenai pamannya adalah kata-kata yang begitu baik, begitu menghormati, begitu menyanjung sang paman.

Ibu saya ini orangnya polos. Beliau bukan orang yang memikirkan lebih dulu apa yang dilakukan maupun yang dikatakannya. Jadi, apa yang keluar dari mulutnya selalu adalah apa yang benar-benar dirasakannya. Ketika beliau berbuat baik pada seseorang, kebaikannya begitu tulus. à There! Finally I have something good to say about my mother…hehe joking… love you Mom :*

Nah sekarang, siapa yang pernah mendengar kata-kata bijak “Jika kamu tidak bisa mengubah seseorang, ubahlah cara pandangmu terhadap orang tersebut.”

Paman dari ibu saya itu sudah puluhan tahun memiliki kepribadian yang demikian. Tidak akan ada seorangpun yang mampu mengubahnya menjadi kepribadian yang lebih baik. Kebetulan, ibu saya pun tentunya tidak merasa kepribadian pamannya perlu diubah. Yang dilakukan ibu saya, secara tidak sadar, adalah melihat pribadi pamannya dari sisi yang berbeda. Begitu besarnya kasih ibu saya kepada sang paman, sehingga semua kelakuannya, yang didefinisikan setiap orang lainnya sebagai keras kepala, sok tahu, angkuh, penuh curiga, didefinisikan ibu saya hanya dengan sebuah kata ‘Lucu’.

Ketika seseorang mengawali cerita mengenai sang paman dengan kata-kata, “Benar-benar orangtua yang nyinyir…”, maka ibu saya akan mengawali cerita yang sama persis dengan kata-kata, “Opa lucu sekali deh…”

Begitulah cara ibuku memandang paman yang sangat dicintainya.

Berikutnya mengenai sepupu saya. Sepupu saya adalah seorang anak tunggal yang begitu disayang oleh kedua orangtuanya. Sepupu saya ini pun begitu mencintai kedua orangtuanya. Walaupun begitu, ada kalanya, terjadi hal-hal yang membuat orangtuanya marah-marah.

Saya sebagai anak, ketika dimarahi oleh orangtua, reaksi yang biasa terjadi adalah curhat tentang orangtua. “Orangtua saya begini, orangtua saya begitu, saya adalah anak paling tidak beruntung di dunia, dan sebagainya.” Tapi saya melihat, ketika sepupu saya bicara mengenai orangtua yang memarahinya, satu kata yang digunakan untuk menggambarkan orangtuanga, “Lucu.”

Sepupu saya akan bercerita dengan penuh sukacita betapa lucunya kedua orangtuanya saat marah-marah, persis seperti seorang ibu yang bercerita dengan penuh kasih mengenai anak balitanya yang nakal.

Begitu juga dengan ayah saya. Pada suatu ketika, ayah saya sedang berada di dalam mobil yang dikemudikan adik saya, di tengah-tengah jalan raya yang padat merayap. Tiba-tiba saja muncul seorang pengendara motor yang menyalip-nyalip di antara mobil dengan sempoyongan. Pengemudi mobil pada umumnya mungkin akan ketakutan atau misuh-misuh takut mobilnya tersenggol si motor yang sempoyongan. Tapi ayah saya malah tertawa dan membuat lelucon tentang pengemudi motor tersebut, yang akhirnya membuat adik saya tertawa. Sesuatu yang membuat senewen pun ternyata bisa menjadi sesuatu yang lucu kalau kita berpikir bahwa itu lucu.


Begitu juga dengan cara pandang ayah saya mengenai pensiun. Banyak orang, terutama pria, setelah pensiun, mengalami apa yang disebut sebagai 'Post Power Syndrome'. Itu karena kebanyakan orang memandang 'pensiun' sebagai akhir dari masa produktif, akhir dari... entahlah bagaimana mereka memandang pensiun.
Namun, bagi ayah saya, pensiun merupakan sebuah berkah yang disyukurinya. Ayah saya bisa berlibur dengan keluarga, bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga, menghabiskan waktu lebih banyak untuk hobinya bermain musik, dan sebagainya.

Karena itu, ketika saya mendengar banyak pria yang setelah pensiun menjadi lebih sensitif, lebih mudah marah, dan lebih menyebalkan, saya begitu bersyukur bahwa setelah pensiun, ayah saya justru jadi lebih bijak, dan bahkan jauh lebih sabar dalam menghadapi istri dan anak-anaknya (yang sering kurang ajar...hehe love you pop...)

Jadi, mengubah keadaan atau seseorang yang tidak mau berubah, memang sangatlah sulit. Dan belum tentu ada gunanya bagi kita. Dan tentu kita sendiri sadar bahwa kita belum cukup sempurna untuk bisa mengubah orang lain. Namun mengubah cara pandang kita mengenai orang lain atau suatu keadaan ternyata begitu mudahnya. Dan itu memberikan efek yang jauh lebih baik bagi kita. J

Orang yang Baru

Sudah sebulan lebih saya tidak menulis sesuatu yang baru di blog ini. Sebelumnya, walaupun sangat terlambat, saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Semoga berkah.

Setelah memperhatikan pola menulis saya, saya baru saja menyadari, setiap kali mulai kembali menulis, saya telah menjadi pribadi yang lebih baru, yang berbeda dengan sebelumnya. Tentu pribadi yang saya rasa lebih baik dari yang sebelumnya. Yah, mudah-mudahan benar-benar lebih baik, bukan perasaan saya saja. Karena kalau pribadi yang sebelumnya lebih baik, buat apa saya berubah.

Biarpun begitu, saya tidak akan menghapus apapun yang sudah pernah saya tulis di postingan sebelumnya, karena itu akan menjadi refleksi langkah demi langkah perubahan diri.

Kalau biasanya saya curhat atau cerita mengenai keseharian saya, sepertinya mulai post yang ini dan seterusnya, saya akan lebih banyak menulis mengenai pemikiran-pemikiran dan filosofi kehidupan yang saya pelajari selama ini.

Saya begitu beruntung, begitu diberkahi Tuhan, karena dikelilingi oleh orang-orang yang sangat luar biasa, di manapun saya berada, mulai dari rumah, sekolah, kuliah, lingkungan kerja, bahkan orang-orang yang saya temui di luar semua itu. Terutama akhir-akhir ini saya mengenal dengan sangat baik seorang penulis blog yang sangat cerdas. Beliau banyak memberikan pandangan baru yang begitu menyegarkan pada saya.

Semoga di tulisan-tulisan setelah ini saya tidak terkesan menggurui. Saya tidak merasa benar. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya pelajari dari orang-orang hebat di sekitar saya. Karena mungkin tidak semua orang dikelilingi oleh orang-orang hebat.

Kamis, 16 Mei 2013

Depression

Thursday, May 16, 2013

No. Not me..haha

I just remembered that last Wednesday, April 8, I met this girl from University of Indonesia Faculty of Psychology.
I got her number from twitter. One of followers of one of my followers retwitted her twit about her need of patients with depression. She needed some female respondents, 20 - 40 years old, and gave her number there. So I met up with her.

She was very nice and charming. Maybe it's part of her job. We talked. She dug my personal information and I gladly gave her everything since she's a psychologist. And... good news, I don't have depression. But I have Narcissistic Personality Disorder and some Obsessive and Compulsive Disorders, and some other personality disorder. And I got very good new knowledge about the symptoms of depression.

Those symptoms are:
1. Feel sad and drowning, can't heal the pain even if we want to
2. Lack of self worth
3. Either can't stop eating or don't wanna eat at all
4. Either can't sleep or sleep for a very long time
5. Don't care about taking shower, washing hair, and appearance stuffs
6. Not interested in doing hobbies or interests
7. Blaming
8. Don't wanna meet people
9. Suicidal

To be called people with depression we need to have at least 5 of the symptoms, and they have to last for about 2 weeks.

I feel sad sometimes. I'm in a gloomy mood sometimes. But it's just because I'm a drama queen. I have the urge to make some dramas in my life.
Stop eating is something difficult for me, but it's just my bad eating habit.
I sleep for a very long time and sometimes can stay awake all night. But it just depends on my mood. Sometimes I feel so tired because I'm simply a lazy couch potato. Some other times I just stay awake all night because I have something to write, some ideas, some thoughts, etc.
I don't care that much about my appearance. But that's because I don't think it matters.
I don't wanna meet people only when I'm in the mood of being alone. Because sometimes I just enjoy being left alone, only talking with myself, write something, do something fun alone. It's priceless!
Suicidal? Hell no! I hate death!

And I don't have them for two weeks. They just come and go.
So, okay, that's all I wanna say in this post.

Bye!