Minggu, 27 April 2014

Arti Ketulusan Sejati

Sebenarnya sih ini topik yang sudah lama sekali dan sudah pernah beberapa kali saya bahas dengan teman-teman saya. Lalu setelah lama tidak membahas persoalan ini dengan teman-teman saya, saya tiba-tiba memiliki kesimpulan sendiri. Sudah lama juga ingin saya tuangkan dalam bentuk tulisan, tapi baru kesampaian sekarang ini.

Jadi begini, awalnya, ada sebuah pertanyaan, “Teman yang kita cari itu teman yang seperti apa sih?”
Lalu saya dan teman-teman menyebutkan beberapa kriteria teman idaman. Ada yang menyebutkan teman yang obrolannya nyambung sama kita, ada yang bilang memiliki hobi atau minat yang sama, ada yang menyebutkan teman yang menyenangkan, teman yang pintar, teman yang lucu, teman yang selalu ceria, teman yang bisa menghibur di kala sedih, bisa menolong di saat kita kesulitan, teman yang bisa memberi pengaruh positif, teman yang selalu bisa diandalkan, dan sebagainya.

Dan tentu saja jawaban ini muncul di antara sekian banyak jawaban: tulus. Teman yang baik adalah teman yang tulus.

Pertanyaannya adalah, teman yang tulus itu yang seperti apa?
Teman saya yang menyebutkan ‘tulus’ itu tadi, sebut saja Pak Ali (bukan nama sebenarnya), mendeskripsikan ketulusan sebagai “apa adanya, bukan ada apanya”. Maksudnya apa? Maksudnya adalah, seorang teman itu mau berteman kita tanpa mengharapkan apapun dari kita, karena ia memang ingin menjadi teman kita, tanpa peduli apa yang kita punya. Jadi, kita murni berteman dengan seseorang karena kita memang senang berteman dengannya. Itu, yang menurut Pak Ali, dan mungkin juga sebagian besar orang, sebagai ketulusan.

Maka teman saya yang lain, yang pertama kali melontarkan pertanyaan mengenai kriteria teman idaman, sebut saja Pak Budi (bukan nama sebenarnya), kembali mempertanyakan, “Benarkah ada teman yang seperti itu?”
Benarkah ada orang yang seperti itu? Itukah yang disebut dengan tulus?

Dalam hal ini, mungkin yang dimaksudkan Pak Ali dengan ‘ada apanya’, ‘mengharapkan apapun’, ‘apa yang kita punya’, adalah apa yang bisa dilihat secara kasat mata. Seperti apa? Uang, harta benda, mobil keren, rumah mewah, royal alias suka mentraktir, ketenaran, kekuasaan, gengsi, dan sebagainya. Jadi, ketika seseorang mau berteman karena sang teman memiliki hal-hal yang disebutkan di atas, seseorang itu tidak bisa dikatakan tulus, karena ia mengharapkan keuntungan dari pertemanannya.

Tapi apa hanya itu keuntungan yang bisa didapatkan dari seorang teman?
Apakah kita sudah tulus dalam berteman dengan teman-teman kita? Apakah kita mau berteman dengan teman-teman kita bila tidak ada keuntungan yang bisa kita ambil dari pertemanan kita dengan mereka?

Coba pikir lagi.  Kalau memang kita mau berteman tanpa mengharapkan keuntungan apapun, mengapa ada sekelompok orang tertentu, bahkan mungkin hanya tiga sampai empat orang, yang selalu kita traktir saat kita berulangtahun? Mengapa hanya orang-orang terpilih itu yang kita ingat ulangtahunnya, atau bahkan kita beri kado, hadiah, atau kejutan? Mengapa ada orang-orang tertentu yang kita hubungi hampir setiap hari, sementara kelompok lainnya kita hubungi setiap bulan hanya sekali-dua kali, dan orang-orang lainnya hanya kita hubungi setahun sekali, atau mungkin hanya ada nama dan nomor teleponnya, pin bb-nya, contact-nya di social media, tanpa pernah sekalipun kita hubungi?

Mudah saja. Ada beberapa orang yang memang lebih kita ‘butuhkan’ daripada orang-orang lainnya. Jadi, ya, kita menghubungi mereka karena kita membutuhkan mereka. Butuh untuk apa? Macam-macam. Bisa saja kita butuh cerita, atau kita butuh mendengar cerita darinya, atau kita butuh saran dalam menghadapi masalah, atau kita butuh tertawa bersama mereka. Itu adalah kebutuhan kita. Jadi, ya, benar, kita menghubungi mereka karena kita butuh mereka, mengharapkan sesuatu dari mereka.

Coba lihat lagi jawaban-jawaban lainnya mengenai teman idaman di paragraf ke dua tadi. Saat kita mengharapkan seorang teman yang lucu dan menyenangkan, itu adalah sebuah keuntungan bagi kita. Saat kita mengharapkan teman yang bisa diandalkan, itu adalah sebuah keuntungan bagi kita. Saat kita mengharapkan teman yang bisa memberi pengaruh positif bagi kita, itu adalah sebuah keuntungan bagi kita, dan ingat…

Saat kita mengharapkan seorang teman yang tulus…, itu adalah sebuah keuntungan bagi kita.

Lalu, apakah itu membuat kita sebagai teman yang tidak tulus?
Apakah berteman dengan seseorang karena kita merasa nyaman dengan orang tersebut, bisa dikatakan lebih tulus daripada berteman dengan seseorang karena kekayaannya?

Nah, kembali pada Pak Ali dan Pak Budi tadi, sementara Pak Ali mengatakan bahwa teman yang tulus itu adalah teman yang tidak mengharapkan apa-apa dari kita, Pak Budi justru berpendapat bahwa yang namanya ketulusan sejati itu justru sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah ‘maksud baik’ dan ‘maksud buruk’. Apa itu ‘maksud baik’ dan ‘maksud buruk’?

Sebelumnya, mari kita kembali mempertanyakan arti kata ‘tulus’ itu tadi.
Menurut kamus bahasa Indonesia yang saya dapatkan dari link ini:
1. sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dr hati yg suci); jujur; tidak pura-pura; tidak serong; tulus hati; tulus ikhlas: orang lain belum tentu berhati -- kpd kita; ia menyumbangkan tenaga dan hartanya dng -- ikhlas;
ke·tu·lus·an v kesungguhan dan kebersihan (hati); kejujuran: dng segala ~ hatinya ia menghadiahkan sebagian hartanya kpd fakir miskin
--

Tuntutan akan ketulusan itu bukan hanya dalam soal berteman. Dalam hal apapun, manusia mengharapkan ketulusan, mulai dari berteman, berpasangan, menolong sesama, melakukan kebaikan, dan banyak hal lainnya dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Kalau tulus itu kita artikan seperti definisi di atas, bisa jadi teman saya si Pak Budi memang benar: tidak ada yang namanya ketulusan sejati di dunia ini.

Coba pikirkan, motivasi apa yang membuat seseorang melakukan kebaikan?
Ingin mendapat imbalan berupa uang? Ya, itu mudah, tentu saja merupakan sebuah keuntungan.
Ingin mendapat imbalan berupa nama baik? Ya, itu juga mudah, tentu saja merupakan sebuah keuntungan.
Ingin mendapat imbalan berupa pahala? Merupakan sebuah keuntungan.
Ingin mendapat imbalan berupa rasa terimakasih? Merupakan sebuah keuntungan.
Ingin mendapat imbalan berupa kepuasan batin? Merupakan sebuah keuntungan.
Ingin mendapat ketenangan, karena kalau tidak melakukan suatu hal, akan merasa bersalah dan terbebani… juga merupakan sebuah keuntungan.
“Tidak ingin apapun, pokoknya kebaikan itu harus dilakukan, kalau ada orang membutuhkan pertolongan dan kita bisa tolong, ya kita tolong.” …alasan itu pun… merupakan sebuah keuntungan, karena alasan yang sudah disebutkan sebelumnya: kepuasan batin, karena telah menuruti apa yang diperintahkan oleh otak.

Manusia memiliki kebutuhan akan eksistensi diri. Bisa berguna bagi orang lain, bisa melakukan kebaikan, adalah salah satu factor yang bisa membuat manusia bahagia. Maka, saat kita menolong orang lain tanpa mengharapkan keuntungan berupa uang maupun pahala, sebenarnya kita sedang mencari keuntungan bagi diri kita sendiri.

Lalu, apakah itu membuat kita menjadi tidak tulus? Lalu apakah artinya kita tidak benar-benar baik?

Tenang saja. Pada dasarnya, apapun yang dilakukan setiap mahluk hidup di muka bumi, pasti ada maksud tertentu di baliknya. Mahluk hidup apapun tidak akan melakukan apapun kalau mereka tidak mendapatkan keuntungan dari hal tersebut. Karena itu, kalau masih ingat pelajaran IPA jaman SD dulu, ada yang namanya simbiosis, atau interaksi antar satu mahluk hidup dengan mahluk hidup lainnya. Simbiosis itu hanya ada tiga macam: simbiosis mutualisme (kedua pihak sama-sama untung), simbiosis komensalisme (satu pihak untung, satu pihak tidak untung namun juga tidak rugi), dan simbiosis parasitisme (satu pihak untung sementara pihak lainnya rugi). Tidak ada simbiosis yang kedua pihak sama-sama rugi atau satu pihak rugi sementara pihak lainnya tidak untung maupun rugi. Itu tidak masuk akal.

Jadi, sebenarnya, di setiap interaksi, pasti selalu ada pihak yang mengambil keuntungan. Yang jadi masalah tinggal, apakah pihak yang lain juga diuntungkan, tidak terpengaruh apa-apa, atau malah dirugikan. Itulah yang Pak Budi maksud dengan ‘maksud baik’ dan ‘maksud buruk’. Ketika kita memiliki maksud yang baik, maka interaksi yang kita inginkan adalah simbiosis mutualisme, kedua pihak sama-sama diuntungkan. Ketika orang bermaksud buruk, maka akan ada pihak yang rugi atas keuntungan pihak lainnya.

Ketika kita menjadi pihak yang dirugikan dalam simbiosis parasitisme, tentu kita tidak akan meneruskan hubungan pertemanan kita dengan orang yang bersangkutan, mungkin kita akan marah dan benci, atau minimal belajar untuk tidak lagi berhubungan dengan orang-orang semacam itu. Ketika kita menjadi pihak yang tidak mendapatkan keuntungan maupun kerugian dalam simbiosis komensalisme, maka kita tidak akan memiliki kepentingan terhadap orang yang bersangkutan. Dan ingat, saat kita merasa puas karena telah berbuat baik pada seseorang, itu tidak bisa disebut simbiosis komensalisme. Jadi kita memang hanya akan berteman, berinteraksi, dan melakukan usaha sekecil apapun, bila kita terlibat dalam simbiosis mutualisme.

Bagaimanapun juga, ketika kita memutuskan untuk berteman atau berinteraksi dengan seseorang, pasti ada yang kita dapatkan dari pertemanan itu. Bentuknya tidak harus berupa materi, tapi bisa keuntungan lainnya berupa kenyamanan, kesenangan, hiburan, membuka peluang bisnis, menimba ilmu, dan lain-lain. Selama kedua pihak diuntungkan, mengapa tidak?

Jadi kesimpulan apa yang saya dapatkan dari pendapat Pak Ali dan pendapat Pak Budi? Kesimpulan saya pribadi adalah, Pak Ali dan Pak Budi sama-sama benar. Teman yang baik adalah teman yang tulus, dan ketulusan sejati itu mungkin memang tidak ada.

Tapi, yang paling mendekati arti ketulusan sejati adalah, di saat kita melakukan kebaikan pada seseorang atau suatu mahluk, kita tidak mendapatkan keuntungan apapun selain rasa senang melihat kesenangan orang atau mahluk tersebut. Dan sebenarnya, keuntungan itu justru merupakan keuntungan paling besar, yang akan membuat setiap aspek kehidupan kita menjadi jauh lebih baik. Amin?