Minggu, 31 Juli 2016

VALAK!!!!!!

Minggu pahing, 31 Juli, 2016, tengah malem

So guys, lagi-lagiii gue posting isinya topic yang udah basi.
Boelaahh… orang udah pada valak-valakan dari kapan? Gue baru ngomongin valak sekarang.
Maklum, pas valak lagi hits gue lagi asik-asiknya nonton bola.

Tapi tadi itu gue lagi ngumpul sama salah satu temen lama gue. Terus gue ngapain gitu ya, sampe salah satu temen gue, sebut saja oknum G, ngatain gue mirip si Val. Terus temen gue lainnya, sebut saja oknum N, bilang, “Eh, hati-hati loh kalo nyebut-nyebut gituan! Nanti didatengin! Itu kan katanya kisah nyata, setannya ada beneran.”

Ya, gue sering denger sih, orang ngomong gitu. Misalnya si poci dan si kunti. Kalo ada yang nyebut nama mereka, kan pasti ada aja tuh yang bilang “Hush! Jangan sebut-sebut ah! Ntar didatengin loh!”
(So, mulai sekarang, let’s just call her Miss V)

Terus gue mikir, lah, kemaren kapan itu, pas doi lagi ngehits, buset! Tiap jam ada berapa orang posting isinya doi lagi, doi lagi. Gue aja, yang sampe sekarang ini belom nonton ‘Conjuring 2’ juga (karena underestimate, paling nggak serem), sampe jadi tau setan yang namanya Valak… eh Miss V, sampe bentuknya gimana, sampe sejarahnya gimana, gara-gara apa? Ya gara-gara doi ngehits banget lah di social media. Nongol mulu doi di timeline gue! Mau didatengin satu-satu itu orang yang pada posting? Udah kaya silaturahmi lebaran.
Pantesan ajee lebaran kemaren jalur mudik macetnya lebih dari biasanya. Yang silaturahmi bukan manusia doang, setan aja ikutan silaturahmi!

Lah gue nge-like atau komen di orang yang followers instagramnya kisaran puluhan rebu aja belom tentu dibales. Follbek kakak, follbek kakak, follbek kakak, berapa kali mention-mention juga ngga difollbek-follbek. Lah ini, Miss V, yang ditonton dan diplesetin jutaan orang di seluruh dunia, sempet kali datengin satu-satu.

Lagian, kalo misalnya nih ya, anggeplah lo didatengin beneran sama Miss V, terus lo kira dia bakal ngapain? Paling baru muncul bentar, “Dor!” lo kaget, terus udah doi pamit, “Udah ya neng, saya masih banyak appointment lain.” Iya lah, dalam satu hari aja bisa berapa orang mention nama doi di social media? Padet lah jadwalnya!

Kecuali doi bisa buka cabang kaya si kunti sama si poci. Kan di mana-mana mungkin aja ya ada kejadian kaya si kunti dan si poci. Nah kalo Miss V?

Nah terus kalo macem si poci sama si kunti, lo bisa bayangin nggak tuh, gimana sibuknya mereka saat film “*o*ong vs K*nt*l anak” lagi diputer di bioskop? Antrian penonton segitu panjangnya, semuanya pada mau nonton “*o*ong vs K*nt*l anak”! Tiap kali mbak-mbak penjual tiketnya nanya, “Mau nonton apa?” si poci sama si kunti udah pegel aja denger jawabannya. Kata si poci, “Jiaah, ti…, banyak PR deh kita malem ini!”

Bayangin, satu nama. Tadinya ngga papah nyebut-nyebut satu nama itu. Tapi gara-gara tuh satu nama itu dipake buat nama setan di film horror, jadi nggak boleh disebut-sebut lagi, kalo nggak lo didatengin! Lah, lo tau nggak, siapa nama k*nt*l anak di film terowongan cassablanca? Coba googling deh.

Oke, next time ada yang ketemu gue, sampe nggak mau manggil, gue akan langsung asumsikan lo udah googling.

Yang lebih kasian sih guru gue dulu, namanya Bu (lima huruf, dua suku kata, depannya ‘kun’ belakangnya ‘ti’). Setelah si itu populer, gue bingung murid-muridnya yang sekarang mau manggil beliau gimana.


Eh, gini-gini gue nulisnya tengah malem, juga sambil celingak-celinguk, kali si V lagi cekikikan di belakang sambil baca tulisan gue. Tadi aja pas komputer gue ngehang bentar, gue sempet mikir, “Anjrit! Kenapa nih? Jangan-jangan abis ngehang, terus ntar tiba-tiba si Miss V nongol di layar komputer gue!”

Senin, 11 Juli 2016

Menjadi Seorang Penulis

Masih mengenai catatan harian, alias diary.

Selain untuk dinikmati kenangannya, sebenarnya catatan harian di masa lalu juga bisa dijadikan ukuran, apakah aku yang sekarang lebih baik dari aku yang dulu. Apakah aku bertumbuh? Apakah aku berkembang?

Aku membaca catatan pada suatu hari di tahun 2006 saat aku baru saja menyelesaikan seri ke lima dalam serialku! Serial yang kutulis memasuki episode ke lima? Itu tidak pernah lagi terjadi saat ini.

Memang tidak ada satupun tulisan fiksiku yang kupublikasikan. Tapi setidaknya, di SMP dan SMA dulu, serial yang kutulis manual di buku sudah menjadi bacaan wajib di antara teman-teman sekelas dan seangkatan. Oke, mungkin aku berlebihan.

Dulu memang sedang trend menulis serial di buku tulis. Buku tulis itu kemudian dibaca oleh teman-teman atau siapapun yang tertarik membacanya. Aku menulis beberapa serial. Semuanya tentang kehidupan remaja, karena itu memang tema yang populer.

Mengapa itu populer?

Ini bukan sesuatu yang kudapatkan melalui penelitian ilmiah maupun riset selama puluhan tahun.
Tapi aku mencoba mengamati para penggemar serial drama, termasuk diriku sendiri. Aku juga mengamati teman-temanku yang suka menulis serial.

Sebenarnya, menulis dan menikmati sebuah serial, adalah cara kita berkomunikasi dengan diri sendiri dan dengan lingkungan sekitar. Ada satu karakter yang mengingatkan kita pada orang-orang tertentu di sekitar kita, dan bahkan kita sendiri. Juga kejadian-kejadian yang mirip-mirip dengan apa yang pernah kita alami, atau kita bayangkan terjadi pada kita.

Lalu apa yang akan kita lakukan pada situasi tersebut? Apa yang akan orang lakukan pada situasi tersebut. Cowok atau cewek mana yang akan kita pilih sebagai pacar kita? Setelah itu, apakah si penulis serial setuju dengan pilihan-pilihan kita?

Seorang tokoh yang sangat dihormati masyarakat dunia, menyebut penulis fiksi tidak berguna karena mereka hanya bisa menuliskan ide mereka mengenai bagaimana seharusnya dunia ini berjalan. Aku tidak akan menyebutkan namanya karena kalimatnya tersebut membuatku kehilangan respek padanya.

Menurutku, penulis cerita fiksi, termasuk aku sendiri, justru ingin menginspirasi dunia. Kami ingin menyampaikan ide, yang tidak harus disetujui semua orang, tapi mungkin saja bisa membuat dunia lebih baik bila diterapkan.

Ide itu tidak harus besar, seperti bagaimana cara si penulis menyelamatkan umat manusia dari kiamat. Ide itu bisa saja mengenai sudut pandang yang baru, yang bisa membuat orang yang tidak bahagia menjadi lebih bahagia. Sesederhana itu, namun efeknya bisa lebih besar dari yang dipikirkan orang-orang berpikiran sempit dan monoton, seperti si tokoh itu.

Mesin Waktu

Selasa, 12 Juli, 2016

Memori, atau ingatan, adalah hidup, adalah identitas, adalah apa yang membentuk suatu individu.
Bagiku yang mudah lupa, ingatan adalah segalanya. Setiap detail dari masa lalu begitu berarti, bukan untuk diungkit-ungkit, hanya untuk dinikmati.

Karena itu aku begitu senang membaca catatan-catatan lama di diary-ku.
Sudah sejak kecil aku suka menulis. Sepakbola pun pernah membuatku jenuh. Tapi menulis dan menggambar adalah kegiatan yang selalu aku nikmati, kapanpun, di manapun.

Sejauh yang bisa diraih ingatanku, pertama kalinya aku mulai menulis diary adalah kelas 4 SD, di sebuah buku diary kecil untuk anak SD. Saat itu aku hanya menulis diary saat ada kejadian penting saja. Semakin lama frekuensiku menulis semakin tinggi, dan tulisanku semakin detail. Sejak SMA kelas 2, aku sudah bercita-cita ingin mengabadikan setiap detail dalam setiap hariku dalam diary. Berawal dari hari pertama di kelas 3 SMA, sampai kuliah, aku terus berusaha menulis diary setiap hari, sedetail mungkin. Sampai akhirnya, di tahun 2007 – 2009, aku berhasil menulis diary setiap hari. Saat tidak ada kejadian penting pun, pasti ada pikiran atau perasaan yang kutuangkan dalam diary.

Kebiasaan itu semakin menghilang di akhir tahun 2009. Begitu banyak yang terjadi pada masa itu. Aku mengerjakan Tugas Akhir yang sangat menyita waktu, ditambah pindahan dari kos ke rumah lama, lalu dari rumah lama ke rumah baru. Setelah itu asisten rumah tangga yang sudah bertahun-tahun mengabdi, berhenti kerja, dan aku harus menyesuaikan diri dengan mengerjakan semuanya sendirian, termasuk merawat anjing-anjing.

Akhirnya, kebiasaan itu hilang sama sekali. Sampai saat ini, aku terus berusaha untuk mengembalikannya. Mengapa itu begitu penting?

Apa yang sudah kutulis dengan detail dari tahun 2004 – 2009, telah menjadi sebuah mesin waktu. Kapanpun aku ingin mengunjungi masa laluku, aku hanya perlu membuka kembali lembaran-lembaran virtual yang telah kutulis.

Aku teringat bagaimana kehidupan pada saat itu. Aku teringat pada aku yang dulu, caraku bicara, caraku menulis, siapa teman dekatku, bagaimana caraku berinteraksi dengan orang lain, apa yang sedang kupikirkan pada hari itu, semuanya.

Aku teringat pada masa di saat internet belum menjadi bagian terpenting dalam hidupku.

Aku bukan orang yang paling mutakhir dalam mengikuti perkembangan zaman. Di saat orang lainnya sudah begitu aktif dengan sosial media, aku masih cukup puas dengan keterkucilanku di sebuah kamar kos yang nyaman dengan TV kabel.

Aku tidak banyak berkomunikasi dengan dunia. Komunikasi pada saat itu baru telefon dan pesan tertulis yang disebut SMS, yang keduanya kubenci. Teman-temanku adalah siapapun yang wujud konkretnya ada di sekitarku.

Aku tidak banyak menghabiskan waktu dengan teman ataupun keluarga. Mungkin hanya 20 – 30 % dari keseluruhan waktu hidupku. Sisanya banyak kuhabiskan sendirian, dengan laptopku, diary digitalku. Aku menceritakan semuanya pada diary-ku. Semua kejadian dalam hidupku, semua perasaan, bahkan hasil pertandingan sepakbola dan jalan cerita opera sabun yang kuikuti, buku yang kubaca, semuanya tidak kuceritakan pada manusia, tapi pada sebuah komputer.

Keahlian sosialku tidak lebih buruk atau lebih baik dari sekarang. Saat berhadapan dengan manusia, aku tetap bisa berkomunikasi dan membaur. Sama seperti masa sebelum dan setelahnya, aku senang membuat orang tertawa, dan menikmati saat-saat berkumpul dengan teman dan keluarga. Hanya saja, memang sebagian besar waktuku kuhabiskan di depan komputer, untuk menulis, curhat, entah itu senang, marah, sedih.

Apakah pandanganku pada saat itu lebih sempit dan hanya terfokus pada aku dan komputerku? Sama sekali tidak. Aku tetap membaca buku dan berkomunikasi dengan orang lain. Aku bahkan lebih sering duduk dan bertukar pikiran selama berjam-jam dengan teman dekat ataupun saudara. Sesuatu yang justru sulit kudapatkan sekarang ini, saat aku lebih banyak bergaul baik melalui media sosial maupun pertemuan fisik.

Dulu aku cukup puas mengemukakan pendapatku mengenai suatu hal pada komputer, yang menyimpannya untukku pribadi, untuk kubuka di kemudian hari, kapanpun itu. Kini, rasanya kurang puas kalau belum menyampaikan pendapatku di media sosial, dan mendapat tanggapan dari orang-orang lainnya.


Aku tidak menganggap masa itu ataupun ini lebih baik atau lebih buruk. Saat ini aku hanya sedang merindukan masa-masa itu.