Suatu hari pernah muncul sebuah pertanyaan dalam benak saya,
“Seandainya setiap orang di muka bumi ini telanjang, apakah saya akan malu
untuk menjadi satu-satunya orang yang mengenakan pakaian?”
Ada beberapa orang di sekitar saya yang mengatakan sesuatu
yang negatif mengenai orang-orang, terutama wanita, yang mengenakan pakaian
minim. Menurut mereka, wanita-wanita itu terlalu banyak mengumbar tubuhnya.
Kadang sesama wanita sering mengomentari betapa pendeknya celana atau rok
wanita lain, belahan dada si anu terlihat jelas, bule suka berpakaian terbuka
sehingga banyak terjadi seks bebas, dan sebagainya. Anehnya, pada saat yang
sama mereka juga menganggap bahwa wanita tidak seharusnya berhijab yang kainnya
panjang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan.
Memang benar, lebih hebat, lebih baik, apabila pria-pria
dapat menahan nafsu saat di kondisi ‘normal’ seperti sekarang ini, di mana
wanitanya telanjang tidak, pakai hijab juga tidak. Alangkah lebih mudah bagi
para pria untuk menahan nafsu saat semua manusia menggunakan hijab. Sehingga,
kalau seorang pria terbiasa melihat semua wanita menggunakan hijab, ketika
melihat sedikit saja bagian tubuh wanita, yang mungkin hanya jempol kaki, sang
pria tersebut bisa langsung nafsu.
Mungkin saja itu benar. Mungkin juga tidak.
Apakah hijab membuat wanita jadi lebih tidak menggairahkan?
Apakah itu tujuannya? Untuk menghormati pria? Untuk menjaga agar pria tidak
berbuat dosa?
Kalau dilihat seperti itu, jelas saja para wanita akan
memprotes. Pria yang nafsu, pria yang dosa, kok wanita yang disalahkan? Kok
wanita yang harus menjaga? Bagaimana dengan prianya? Lalu hijab dianggap sebagai
sebuah bentuk pengekangan terhadap hak asasi wanita. Hak asasi yang mana?
Saya pernah membaca sebuah buku panduan berwisata yang
ditulis oleh seorang wanita berhijab. Dalam buku itu, sang penulis berkisah,
seorang temannya yang bule bertanya padanya, “Mengapa orang-orang muslim
mengekang wanitanya dengan mewajibkan berpakaian seperti itu?”
Si penulis menjawab, saya lupa kata-kata persisnya, intinya,
“Siapa bilang saya dikekang? Kalau saya tidak mau memperlihatkan tubuh saya,
bagaimana? Itu kan hak saya.”
Saya tidak memandang hijab sebagai cara untuk menahan nafsu
pria. Nafsu dan kegairahan itu sifatnya begitu relatif. Ada pria yang melihat
wanita telanjang malah tidak bernafsu, justru kalau mengenakan sedikit pakaian,
lebih membuat nafsu. Ada pria yang lebih bernafsu dengan wanita yang mengenakan
seragam sekolah. Ada pria yang lebih bernafsu pada wanita yang mengenakan
kostum ayam. Selera orang dalam soal nafsu begitu berbeda. Bahkan, ada lho,
pria yang bernafsu melihat wanita berhijab.
Nafsu seksual pria itu akan selalu ada, tidak saja pada
wanita, tapi juga pada sesama pria, anak kecil, bahkan pada yang bukan manusia
sekalipun.
Jadi hijab bukanlah untuk merendahkan posisi wanita, untuk
memberi wanita beban yang begitu berat, yaitu menjaga nafsu birahi para pria,
bukan.
Hijab adalah cara wanita untuk menghormati bagian-bagian
tubuhnya sendiri. Karena mereka yang mengenakan hijab, begitu menghargai setiap
inci bagian tubuhnya sehingga tidak menginginkan siapapun untuk melihat bagian
tubuh yang mereka hargai.
Saya sendiri tidak mengenakan hijab. Saya berpakaian seperti
wanita pada umumnya, kadang mengenakan celana panjang dan kemeja, kadang lengan
pendek. Kadang saya juga mengenakan rok selutut. Bayangkan saja, bagaimana kalau
ada orang yang berkata pada saya, “Star, elo kok mau aja dikekang, suruh pakai
baju seperti itu? Apa lo nggak pingin pakai baju yang lebih ‘bebas’? Memang
dada lo harus ditutupin ya? Nggak panas?”
Apakah saya merasa terkekang harus menutupi dada, perut, dan
punggung saya? Apakah pakaian saya menutupi sebagian tubuh saya agar tidak ada
pria yang bernafsu? Tidak. Saya hanya tidak ingin memberikan orang lain akses
untuk melihat bagian-bagian tubuh yang saya tutupi.
Dan ternyata, semakin maju peradaban, para wanita semakin
memperlonggar batasan-batasan mereka untuk bagian tubuh yang diperbolehkan
untuk diperlihatkan pada pria. Wanita pada awal abad 20 tidak mau
memperlihatkan lengan, paha, bahkan betis mereka. Tidak ada yang mengenakan
pakaian yang memperlihatkan lengan, paha, dan betis mereka karena pada saat
itu, lengan dan kaki adalah bagian tubuh yang memalukan untuk terlihat. Di
dekade 1920 – 1930 wanita mulai memperlihatkan punggung, lengan, dan sebagian
kaki mereka. Setelah perang dunia ke dua, batasan-batasan itu semakin longgar.
Para wanita mulai mengenakan rok-rok mini dan atasan tanpa lengan. Dan
sekarang, Lady Gaga bisa jalan dengan gagahnya hanya dengan mengenakan celana
dalam.
Ada pria yang ingin melihat wanita hanya mengenakan pakaian
dalam? Ada wanita yang ingin berkesempatan memamerkan payudaranya tanpa harus
menjadi model majalah pria dewasa? Mudah. Buatlah itu menjadi trend. Buatlah
seolah wanita yang menutupi payudaranya adalah wanita yang terjajah hak
asasinya.
Seandainya setiap orang di muka bumi ini telanjang, apakah
kita akan malu untuk menjadi satu-satunya orang yang mengenakan pakaian? Ya. Mungkin
saja kita akan malu.
Hijab menurut saya adalah bentuk rasa syukur dan ketaatan pada pencipta saya.. Ia sudah sangat baik menciptakan saya dan mengurus kebutuhan hidup saya sehari-hari.. tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikanNya selama ini sehingga saya mengenakan hijab sebagai bentuk kesyukuran saya kepadaNya..
BalasHapusSaya tidak akan malu ketika seluruh orang tidak mengenakan pakaian sementara saya berpakaian sangat tertutup.. Buat apa malu? Toh malu hanya di dunia.. di akhirat justru saya akan ditolong..
Saya doakan semoga mbak astari bisa mengenakan hijab ya.. :)
Terimakasih doanya Mbak Akhwatfun :)
Hapus