Akhir-akhir ini saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan
ibu saya daripada biasanya. Kami banyak mengobrol mengenai berbagai hal yang
memberikan saya pelajaran berharga. Salah satu yang sering menjadi bahan
perbincangan kami adalah seorang paman ibuku yang tinggal di Belanda.
Paman ibuku ini orangnya agak eksentrik. Usianya sudah
begitu tua, 84 tahun, laki-laki (ya, iya lah, namanya juga paman, bukan bibi),
tidak pernah menikah, sudah tinggal seorang diri di Belanda sejak muda. Ia tidak
punya teman, tidak senang bergaul, penuh rasa curiga, dan selalu ketakutan. Paman
ibuku ini sudah buta karena terkena katarak, dan kini tinggal di sebuah panti
jompo di Belanda sana.
Saya pernah beberapa kali mengunjungi panti jompo tersebut
bersama ibu dan sepupu saya. Paman ibu saya itu pun beberapa kali pernah
berlibur ke Indonesia. Saya melihat, orang-orang yang mengenalnya, termasuk
saya, sependapat bahwa pria tua ini sudah pikun, tidak tahu apa-apa, selalu
mengeluh mengenai kehidupan dip anti jompo, tapi tidak pernah betah
berlama-lama di Indonesia, nyinyir, keras kepala, dan sebagainya.
Nah, apakah ibu saya pernah bicara sesuatu yang jelek
sedikitpun tentang pamannya? Tidak!
Ibu saya begitu mencintai pamannya. Setiap tahun ibuku
selalu menyempatkan untuk mengunjungi pamannya, karena begitu sayangnya pada
sang paman. Dengan sabar dirawatnya sang paman yang buta, dimanjakan, dibuat
senang. Setiap perkataan ibuku mengenai pamannya adalah kata-kata yang begitu
baik, begitu menghormati, begitu menyanjung sang paman.
Ibu saya ini orangnya polos. Beliau bukan orang yang
memikirkan lebih dulu apa yang dilakukan maupun yang dikatakannya. Jadi, apa
yang keluar dari mulutnya selalu adalah apa yang benar-benar dirasakannya. Ketika
beliau berbuat baik pada seseorang, kebaikannya begitu tulus. à There! Finally I have
something good to say about my mother…hehe joking… love you Mom :*
Nah sekarang, siapa yang pernah mendengar kata-kata bijak “Jika
kamu tidak bisa mengubah seseorang, ubahlah cara pandangmu terhadap orang
tersebut.”
Paman dari ibu saya itu sudah puluhan tahun memiliki
kepribadian yang demikian. Tidak akan ada seorangpun yang mampu mengubahnya
menjadi kepribadian yang lebih baik. Kebetulan, ibu saya pun tentunya tidak merasa
kepribadian pamannya perlu diubah. Yang dilakukan ibu saya, secara tidak sadar,
adalah melihat pribadi pamannya dari sisi yang berbeda. Begitu besarnya kasih
ibu saya kepada sang paman, sehingga semua kelakuannya, yang didefinisikan
setiap orang lainnya sebagai keras kepala, sok tahu, angkuh, penuh curiga,
didefinisikan ibu saya hanya dengan sebuah kata ‘Lucu’.
Ketika seseorang mengawali cerita mengenai sang paman dengan
kata-kata, “Benar-benar orangtua yang nyinyir…”, maka ibu saya akan mengawali
cerita yang sama persis dengan kata-kata, “Opa lucu sekali deh…”
Begitulah cara ibuku memandang paman yang sangat
dicintainya.
Berikutnya mengenai sepupu saya. Sepupu saya adalah seorang
anak tunggal yang begitu disayang oleh kedua orangtuanya. Sepupu saya ini pun
begitu mencintai kedua orangtuanya. Walaupun begitu, ada kalanya, terjadi
hal-hal yang membuat orangtuanya marah-marah.
Saya sebagai anak, ketika dimarahi oleh orangtua, reaksi
yang biasa terjadi adalah curhat tentang orangtua. “Orangtua saya begini,
orangtua saya begitu, saya adalah anak paling tidak beruntung di dunia, dan
sebagainya.” Tapi saya melihat, ketika sepupu saya bicara mengenai orangtua
yang memarahinya, satu kata yang digunakan untuk menggambarkan orangtuanga, “Lucu.”
Sepupu saya akan bercerita dengan penuh sukacita betapa
lucunya kedua orangtuanya saat marah-marah, persis seperti seorang ibu yang
bercerita dengan penuh kasih mengenai anak balitanya yang nakal.
Begitu juga dengan ayah saya. Pada suatu ketika, ayah saya sedang
berada di dalam mobil yang dikemudikan adik saya, di tengah-tengah jalan raya
yang padat merayap. Tiba-tiba saja muncul seorang pengendara motor yang
menyalip-nyalip di antara mobil dengan sempoyongan. Pengemudi mobil pada
umumnya mungkin akan ketakutan atau misuh-misuh takut mobilnya tersenggol si
motor yang sempoyongan. Tapi ayah saya malah tertawa dan membuat lelucon
tentang pengemudi motor tersebut, yang akhirnya membuat adik saya tertawa. Sesuatu
yang membuat senewen pun ternyata bisa menjadi sesuatu yang lucu kalau kita
berpikir bahwa itu lucu.
Begitu juga dengan cara pandang ayah saya mengenai pensiun. Banyak orang, terutama pria, setelah pensiun, mengalami apa yang disebut sebagai 'Post Power Syndrome'. Itu karena kebanyakan orang memandang 'pensiun' sebagai akhir dari masa produktif, akhir dari... entahlah bagaimana mereka memandang pensiun.
Namun, bagi ayah saya, pensiun merupakan sebuah berkah yang disyukurinya. Ayah saya bisa berlibur dengan keluarga, bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga, menghabiskan waktu lebih banyak untuk hobinya bermain musik, dan sebagainya.
Karena itu, ketika saya mendengar banyak pria yang setelah pensiun menjadi lebih sensitif, lebih mudah marah, dan lebih menyebalkan, saya begitu bersyukur bahwa setelah pensiun, ayah saya justru jadi lebih bijak, dan bahkan jauh lebih sabar dalam menghadapi istri dan anak-anaknya (yang sering kurang ajar...hehe love you pop...)
Jadi, mengubah keadaan atau seseorang yang tidak mau berubah, memang
sangatlah sulit. Dan belum tentu ada gunanya bagi kita. Dan tentu kita sendiri
sadar bahwa kita belum cukup sempurna untuk bisa mengubah orang lain. Namun mengubah
cara pandang kita mengenai orang lain atau suatu keadaan ternyata begitu mudahnya. Dan itu
memberikan efek yang jauh lebih baik bagi kita. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar