Rabu, 19 Agustus 2015

Inside Out

Rabu, 19 Agustus 2015

Film terakhir yang kutonton sebelum menulis ini, membuatku berpikir, siapakah di antara kelima emosi, yang paling dominan dalam mengendalikan pikiranku? Kurasa itu si Marah. Kadang aku merasa itu si Takut. Si Jijik juga bisa menjadi sangat kuat. Si Bahagia sangat lemah. Dan ada si Sedih. Si Sedih sangat kuat, namun begitu dibenci oleh keempat temannya.

Si Sedih adalah yang paling jahat. Si Sedih sangat membenci si Bahagia, dan terus membuatnya lemah. Padahal si Bahagia adalah yang paling disukai oleh yang lainnya, si Marah, si Takut, dan si Jijik.
Si Jijik paling merasa jijik terhadap si Sedih. Si Marah paling merasa marah terhadap si Sedih. Si Takut paling takut terhadap si Sedih. Dan si Bahagia, yang tetap bahagia walau terlalu lemah untuk menonjolkan dirinya, tahu bahwa dirinya akan sangat bahagia ketika bisa menyingkirkan si Sedih, jauh ke jurang yang dalam, gelap, dan terlupakan, menghilang bersama memori-memori yang tidak dibutuhkan.

Lalu ada menara-menara. Menara-menara apa saja yang ada di dalam pikiranku, yang membangun kepribadian dan karakter dasarku?

Selama duapuluhsembilan tahun, Menara Keluarga tetap berdiri kokoh, walaupun terus menghadapi gempa bumi dan badai yang sangat dahsyat. Teman-teman dan persahabatan bergabung di dalamnya selama 13 – 14 tahun terakhir.

Menara hobi berdiri tidak kalah kokohnya. Walaupun kokoh, populasi di menara ini sudah terlalu jauh melebihi kapasitas, sehingga hobi-hobi yang berada di dalamnya tidak pernah berhenti berperang untuk mempertahankan diri masing-masing. Pemimpinnya adalah hobi menulis, yang tidak tergeserkan dari tahta selama 24 tahun. Hobi menggambar, walaupun sudah lebih dulu berada di sana, tidak sekuat hobi menulis, karena kadang ia kehilangan tempatnya. Hobi-hobi lainnya memenuhi menara bagaikan penumpang commuter line menuju pusat kota di tengah-tengah jam berangkat kerja.

Para hobi itu saling rebut, saling dorong, saling desak, saling menjatuhkan. Namun hanya sedikit dari mereka yang benar-benar jatuh ke jurang. Kebanyakan hobi yang terlempar dari menara mencengkram dinding jurang dengan begitu kuat, dan segera memanjat naik, kembali ke menara. Kalaupun mereka jatuh sampai ke dasar jurang, beberapa hobi memiliki ukuran yang cukup besar untuk memanjat dinding kembali ke menara dengan mudah. Ketika sedang berusaha memanjat, seringkali hobi-hobi itu menggoyahkan menara-menara lainnya.

Dan akhirnya, karena satu menara tidak cukup lagi untuk menampung populasi hobi, para hobi itu keluar dan menaklukkan menara-menara lainnya, hingga akhirnya, dari kelima menara, para hobi menempati empat menara, bercokol dengan gagahnya mengepung menara Keluarga dan Teman.
Penghuni ketiga menara yang telah direbut sudah dijatuhkan ke dasar jurang untuk dilupakan selama-lamanya, sehingga aku tidak ingat lagi, apa dan siapa sajakah mereka.



Kereta-kereta yang mengantarkan pemikiran datang dari berbagai stasiun, tanpa aturan, saling bertabrakan, dan menyebabkan kekacauan di ruang kendali, sementara para pengendali sedang berkomplot untuk membunuh si Sedih. Keadaan begitu kacau. Bohlam ide yang berbeda-beda dipasang dan dicopot dengan begitu cepat, bahkan sebelum satupun dari ide-ide itu terlaksana.

Bahagia itu Sederhana: Sebuah Kondisi Ideal untuk Menulis

Rabu, 19 Agustus 2015

Kondisi yang sangat ideal bagiku adalah, saat aku memiliki uang, waktu, dan tenaga yang tidak ada habisnya. Aku akan duduk di balkon rumahku yang menghadap ke laut, atau danau, atau sawah, apapun. Pemandangan alam apapun yang indah. Tidak penting apakah rumahku besar atau kecil, mewah atau sederhana, selama pemandangan di sekitarnya begitu asri, alami, tenang, jauh dari kebisingan kota, jauh dari manusia.
Di mejaku terdapat sebuah notebook dalam kondisi yang sangat bagus, dengan memory tidak terbatas, dan koneksi internet tercepat tanpa batas. Di sebelah meja, sebuah lemari pendingin berisi kaleng-kaleng minuman kopi bersoda, rootbeer, dan bir manis tanpa alkohol. Berbagai macam cemilan juga sudah tersedia, kalau sewaktu-waktu aku merasa lapar di tengah-tengah keasyikan menulis. Aneka keju, zaitun hitam dari italia dan yunani, salmon mentah, agar-agar bening dan kenyal rasa buah-buahan, rumput laut kering, semua makanan enak yang kusuka dalam jumlah persediaan yang seolah tiada habisnya. Dan tentu saja botol-botol berisi air mineral di atas lemari pendingin, karena aku tidak pernah suka air mineral dingin. Semua itu ada dalam jangkauanku, sehingga aku tidak perlu berdiri untuk meraih mereka kapanpun aku mau.
Di kolong kursi dan meja yang kududuki, seekor anjing menemaniku, tertidur dengan bahagia, menempel di kakiku. Anjing itu besar, kuat, dan lincah. Namun, di siang hari yang cerah dan berangin seperti itu, anjing paling lincah sekalipun akan memilih untuk tertidur manis di kaki tuannya. Ya, anjing, satu atau lebih. Tidak seperti anak kecil, semakin banyak anjing, aku akan semakin senang. Yah, selama ada pengurus anjing tentunya.

Di dalam kondisi yang sangat ideal itu, aku mungkin justru akan kesulitan untuk fokus pada kegiatanku menulis, karena kegiatanku terus berganti dari makan, minum, melihat pemandangan, dan menjatuhkan diri ke kolong meja untuk berbaring malas di samping si anjing, atau anjing-anjing. Tapi itu tidak akan jadi masalah, karena aku punya seluruh waktu di dunia untuk menyelesaikan tulisanku.