Minggu, 14 Agustus 2022

Yoga Teacher Training at Loka Yoga: Best Experience of My Life So Far (part 1)

The Background Story:


It’s been more than two weeks since I graduated from the yoga school, and to be honest, I still have a hard time moving on. I met my cousin and her family the day after, I got busy visiting beautiful places, I joined a comedy club and did my first stand-up comedy performance, I met some new friends and they were amazing…, and I still think of my yoga teacher training days all the time.


I went to this yoga school in Canggu, Bali, Loka Yoga School from July 4 to 30, and it was the best 4 weeks of my life! It was such an amazing experience! I’ve never been so happy, I’ve never had so much joy. Oh…, I have so much to tell! Let me try to break it down one by one and hopefully give a systematic story of my beautiful experience.


First of all, let’s talk about the background. I hate yoga. I mean, I used to hate it. I tried doing yoga in the past. I watched some videos, followed some yoga classes, read yoga books, and damn they were so boring. However, I was always amazed by the yogis because they’re so healthy, peaceful, and have amazing bodies.


Seriously, their bodies are amazing: fit, slim, toned, powerful, and super elastic. They can do super cool and difficult poses gracefully and effortlessly. That was why I kept trying to do and learn yoga. I wanted to be healthy and have an amazing body. I wanted to look like that and be able to do those super cool poses!


However, since I hated to do the yoga practice itself (and any non-sports-game physical activities in general), I never really did it seriously. I went on and off with yoga. Earlier this year, in January, a yoga school advertisement popped up on my social media. I was interested, because it wasn’t just a yoga school to be a yogi or yoga practitioner, but to be a certified yoga teacher!


Hey! I could get a yoga teacher certificate? I would be able to teach! I would make money from doing yoga! And the school is in Bali! Now…, I’ve been wanting to move to Bali and live here since forever. Last year, I decided to finally do it. I still didn’t know what to do, but I decided to move. My New Year's resolution was to move to Bali, and suddenly I had the idea of what I could do!


I saw some advertisements of these yoga schools, but I didn’t sign up for any of them. I wanted to get to the cheapest one, so I started searching for a list of yoga schools in Bali. I found this site with a complete list of yoga schools in Bali, and I found Loka Yoga and other schools. Loka Yoga was the cheapest one, located near the beach, and in Canggu, where the comedy club is. It was perfect!


I was so excited that I signed up right away. I signed up for the first batch of the year, which was in March, because I just couldn’t wait to leave Jakarta…, or Tangerang, it depends. I contacted the school, registered, and paid right away. I remember the joy and excitement I felt after transferring the money. I started planning my Bali life. I will be living in Bali by March! Oh! So excited!


The next day, I finally remembered that I have a job, and I would need to tell my office and ask for a leave. In my defense, I didn’t work much back then, business was slow, and my office didn’t have enough work for me to do. So, yeah, I forgot I had a job. In fact, when I called my boss, I wasn’t about to ask for permission to leave, I just meant to inform him that I would leave.


He freaked out. He told me I couldn’t do that. He told me I should’ve asked him for permission to leave, I had to write the e-mail, and it would take time. For a start, he had a lot of projects for me. He told me I would be super busy until the end of June. I had to postpone my Bali plan. Thing is, I wasn’t sure I could cancel my yoga school. Would I be able to reschedule to July?


I contacted the yoga school. By then I already knew who I was talking to. It was Taryn Weggelaar, the founder and the main teacher. She was very nice and responsive to my messages. Before I texted her, I was worried that I couldn’t reschedule, and I might lose that amount of money I’ve paid for the school. However, she told me I could reschedule to July, and I was so relieved.


Yes, I was relieved that I could reschedule, and I didn’t have to lose my money for nothing. However, I was still upset because I couldn’t move to Bali as early as I planned. I had to stay in Tangerang for a longer time and it sucked. I didn’t live in the present. I lived in the future. My mind was already in Bali. Every day I could only think about living in Bali.


The closer I got to July, the more I got anxious about the school. I started doubting my destiny. Attending a yoga school in Bali seemed too good to be true. I was so sure something bad would happen, just like every single time I was ready for something good in my life. There have been so many disappointments in my life that I couldn’t believe that a real good thing would happen to me.


I started having these negative thoughts. What if this yoga school was a scam? I kept checking on their social media pages. I even started stalking Taryn Weggelaar on Google and social media. Okay, she is real, they are real, the school is real, but then I started to worry about other things. What if I didn’t get a plane ticket? What if the plane crashed? What if something else happened and I couldn’t go? What if it didn’t happen?


But it happened! On June 30, I finally left Jakarta, I finally arrived in Bali, and on the 4th of July, school finally started! It really happened, and it was really the best experience I’ve ever had in my life!

 

(to be continued…)

Senin, 11 April 2022

Nyokap Gue Kena Stroke, Part 2: Anak Brengsek

Oke, jadi, akhirnya perkara swab udah beres.

Buat jaga-jaga jikalau di antara kalian ada yang kelewat polos dan lugu, iya, di tulisan (entry) sebelumnya, gue bercanda, gue beneran diswab, bukan dirukiyah. Sampai sini paham?

Yah, jadi, sedikit review, beberapa minggu lalu, nyokap gue terkena serangan stroke ringan dan harus dirawat di rumah sakit selama 11 hari. Kalau di tulisan sebelumnya, gue udah cerita soal drama swab, kali ini gue mau cerita lebih lanjut seputar hal-hal lain yang gue hadapi ketika nyokap kena stroke.

Lo tau, kalo ada anggota keluarga kena musibah, apalagi sakit kritis kaya stroke gitu, yang paling capek apa? Bales-balesin WA dari temen-temennya!

Gejalanya gimana? Kejadiannya gimana? Kenapa bisa kena? Jatuh nggak? Bibirnya miring nggak? Pingsan atau sadar?

Capek gue banyak banget yang nanya-nanya doang ngga beli.

Apalagi yang sampe nanya berkali-kali, minta update mulu, sampe telepon-telepon. Beneran, bukan cuma 1 loh yang kaya gini. Banyak! Nyokap gue banyak banget temennya, nggak kaya gue!

“Tante minta update-nya dong, soalnya Tante khawatir kalo nggak ada update.”

Hey! Don’t make this about you! This is not about you!

Iya, gue tau, gue paham, mereka tuh bener-bener peduli sama nyokap gue. Mereka sayang banget sama nyokap gue dan mereka sangat khawatir. Gue pun sangat terharu dan berterimakasih atas kasih sayang dan perhatian mereka. Tapi kan tugas kami anak-anaknya adalah merawat nyokap, mengurus administrasi rumah sakit, dan mengurus klaim asuransi, bukan menjawab pertanyaan para sahabat. Emangnya kami admin fanpage nyokap?

Duh, yawlaah… temen nyokap bakal pada benci deh nih sama gue. Asli! Sampe ada yang udah nanya-nanya panjang lebar, cuma gue jawab, “Iya, Tante, terimakasih ya.” Sumpah! Bukan ada lagi. Gue copas jawaban itu ke semua orang yang nanya.

Ya, sebenernya sih gue pingin bikin klarifikasi soal kondisi nyokap secara detail di Pod Cast Oom Deddy, biar semua orang nggak nanya-nanya lagi soal kondisi nyokap gue. Namun apa daya, gue bukan siapa-siapa. Dalam rangka apa Oom Deddy ngundang gue?

Gue tuh bukannya repot banget ngurusin nyokap, nggak! Aduh, gue jadi ngerasa nggak enak, karena nyokap mikirnya gue nggak sempet bales-balesin WA itu karena gue repot ngurusin dia. Padahal nggak sama sekali! Gue aja yang emang pada dasarnya males bales chat orang. Kalo gue cepet banget bales chat dari lo, lo boleh ngerasa spesial.

Kenapa sih orang nanyanya pada detail-detail amat? Biar apa gitu?

Apalagi yang udah nanya detail banget, terus buntutnya bilang, “Tante bantu doa ya.”

Bukannya doa nggak membantu ya. Gue berterimakasih sekali kepada orang-orang yang membantu, termasuk membantu mendoakan. Bener, terimakasih loh. Itu berarti sekali, dan kami sekeluarga sangat percaya akan kekuatan doa.

Tapi kalau memang mau bantu mendoakan, ya nggak perlu kan tanya sedetail itu? Lo mau laporan ke Tuhan? Ya kan Tuhan juga tau keadaan nyokap gue kaya apa.

“Gejalanya gimana? Tekanan darahnya berapa? Dikasi obat apa sama dokter?”

Kalau Anda dokter dan bisa memberi second opinion terhadap perawatan ibu saya, silakan. Tapi kalau mau berdoa untuk ibu saya, yang saya khawatirkan, Anda nanti berdoa bukan baca buku doa, Al-Quran, yasin, tapi baca catatan medis ibu saya sama resep dokter!

“Ya Allah, turunkan lah tekanan darah teman saya dari 170/95 menjadi… sebentar ya Allah, saya lupa berapa tekanan darah yang normal. Saya mau lihat broadcast WA grup dulu ya Allah…” (ya ibu-ibu kan cari info bukan dari gugel, tapi dari broadcast WA)

“Ya Allah, berikan lah teman saya Brainact tablet 500 miligram dan Kalnex tablet 500 miligram 3 kali sehari, diminum setelah makan. Bila sakit berlanjut, hubungi dokter, ya Allah!”

Masa doa kaya gitu? Nggak mungkin kan?

Masalahnya tulisan dokter kan Tuhan lebih paham cara bacanya. Saya takutnya, Anda salah baca.

Ibaratnya gini, misalnya nih temen nyokap WA ke nyokap. “Kasian, anak lo belom dapet jodoh ya. Gue bantu doain deh. Emang lo pinginnya anak lo dapet jodoh yang gimana?”

Terus nyokap bales, WA juga kan, “Gue sih pinginnya anak gue dapet jodoh yang tinggi, cakep, buat memperbaiki keturunan, seiman, sesuku, tapi kalo bisa sih jangan yang sejenis.”

Dalam bahasa/tulisan WA menjadi “Gw sih pgnnya anak gw dpt jodoh yg tinggi, cakep, buat memperbaiki keturunan, seiman, sesuku, tp kalo bisa sih jg yg sejenis.”

Temen nyokap pun membalas, "Siap!" dan dia pun segera berdoa sama Tuhan, sambil baca WA nyokap. "Ya Tuhan, berilah anak teman saya jodoh yang tinggi, cakep, buat memperbaiki keturunan, seiman, sesuku, tapi kalo bisa sih...”, lalu dia bingung, “Jg? apaan nih jg? Juga kali ya..."

"Ya Tuhan, berilah anak teman saya jodoh yang tinggi, cakep, seiman, sesuku, juga sejenis."

Ya bahaya kan kalo gue dapet jodoh sejenis, sama-sama guru les, sama-sama miskin, sama-sama nggak bisa berkontribusi untuk pengobatan nyokap gue.

Ya iya sih, nyokap gue kan juga berdoa. Tapi kalo keimanan temen nyokap lebih tebel, nanti doa dia yang dijabah.

Gue rasa, kalo temen nyokap baca tulisan gue ini, doa mereka bakal berubah: “Ya Allah, semoga kalau saya sakit nanti, anak saya tidak seperti anak teman saya ini, ya Allah! Judes banget! Orang kan niatnya mau bantu!”

Btw, temen-temen nyokap nggak cuma bantu doa loh ya. Mereka juga nyumbang uang banyak banget dan tiap hari ada aja yang ngirimin makanan. Temen-temen gue pun pada ngirimin makanan setelah akhirnya gue terpaksa ngasi tau mereka soal nyokap. Yang pasti, dari pihak keluarga, saudara-saudara nyokap dan sepupu-sepupu gue sangat banyak membantu dari segi moril dan materil. Terikamasih banyak ya untuk kalian semua yang saya sebutkan di paragraf ini. Maafkan kalau saya judes tiap ditanya update ibu saya. Emang dasarnya judes aja.

 

(to be continued! Percaya lah! Masih banyak drama seputar nyokap gue kena stroke)

Nyokap Gue Kena Stroke, Part 1: Swag test!

Nyokap gue baru aja kena stroke, sekitar akhir Maret. Pas nyokap kena stroke, gue shock dan sedih banget. Gue sangat terpukul, teriak-teriak, meratapi nasib, dan menangis histeris. Semua itu karena satu hal: swab test bajingan!

Sebagai satu-satunya di keluarga yang nggak punya bayi, udah pasti gue yang harus nungguin nyokap di rumah sakit. Sebenernya, gue nggak ada masalah nungguin orang di rumah sakit. Namun, seperti yang kita semua ketahui, di masa pandemi yang nggak kelar-kelar ini, semua pasien dan penunggu wajib PCR sebelum menjalani rawat inap! Khusus bagi penunggu (hanya yang kasat mata), wajib PCR sekali seminggu, atau antigen 3 hari sekali, walaupun mereka di rumah sakit terus, di kamar pasien terus, nggak ke mana-mana.

Kan bangkek ya!

Pertama, biaya rawat inap makin mahal! PCR dan antigen pastinya tidak ditanggung asuransi. Kedua… faaakkk! Ngeri banget idung gue dicolok-colok benda asing nggak jelas! Ugh! I hate swab test! Bisa nggak sih diganti aja jadi swag test?

Asli! Beneran, gue kalo diswab selalu drama banget! Nggak pernah nggak!

Jangan bayangin gue diswab layaknya orang normal yang tinggal duduk diem, dicolok, paling matanya kedip-kedip doang atau berair dikit, atau paling parah udahannya bersin-bersin. Gue kalo lagi diswab lebih mirip orang lagi dirukiyah!

Eh bener nggak sih namanya rukiyah? Tau kan, exorcism, kalo orang kerasukan setan, terus setannya diusir pake doa-doa dan air suci gitu. Biasanya dilakukan oleh seorang pemuka agama atau lebih.

Gue tiap diswab minimal harus dipegangin tiga orang. Satu megangin kaki, satu megangin tangan, satu megangin kepala… lah yang nge-swab siapa dong? Oke, minimal 4 berarti.

Oke, balik lagi ke kejadian nyokap gue dirawat inap karena stroke, sebagai penunggu, pilihan gue antara:

1. hidung gue dicolok seminggu sekali, tapi lebih mahal, atau

2. lebih murah, tapi setelah 3 hari idung gue mesti dicolok lagi.

Setakut-takutnya gue sama PCR, gue tetep lebih pilih yang murah. Jadi antigen lah gue.

Pas gue dateng nih ke tempat swab, gue udah wanti-wanti nih nakes-nakesnya. “Sus, ini saya takuuut banget loh sebenernya diswab. Tapi karena harus jagain ibu saya, saya terpaksa banget ini diswab.”

Dengan wajah penuh kesabaran dan suara penuh kehangatan, susternya berkata, “Oh, nggak papa kok, Bu. Kami sudah biasa.”

He?? Udah biasa?? Wahh… Gue yakin dia nggak tau apa yang akan dihadapinya.

Kalo bener dia biasa nge-swab orang macem gue, gue yakin, pandemi baru 3 bulan juga dia udah resign! Dia pasti udah cari kerjaan lain! Yakin gue! 100%! “Yawlaah… bayaran gue nggak seberapa, ngeswab orang gini amat!” terus pindah cari kerjaan lain tuh orang!

Tapi ya udah lah, yang penting gue udah wanti-wanti. Gue duduk, siap-siap diswab, tegang banget, ya kan. Nah… mulai deh tuh rukiyah! Ada yang megangin kaki, megangin tangan, megangin kepala, megangin dada…

Dadanya sendiri loh ya. Siyok dia tuh ngeliat kelakuan gue!

Heboh lah itu. Gue dipegangin sambil teriak-teriak gitu. Ada yang sambil nyipratin air suci, ada yang sambil komat-kamit. Mana swab kalo di rumah sakit dalem banget kan. Pernah nggak lo swab di rumah sakit? Beda loh kedalamannya. Asli, dalem banget! Sampe nembus ke belakang kepala tuh gue rasa!

Gue juga kasian sama yang ngeswabin gue. Asli! Kasian loh mereka. Sampe akhirnya, pada satu titik, salah satu nakes itu pun menghembuskan nafas lelah tak berdaya sambil bertanya, “Bu, ini bener-bener udah nggak ada lagi nih yang bisa jagain pasien selain ibu?”

Yee… kan tadi gue udah bilang…

Yawlah…, kasian banget dia. Gue yakin tiap gue swab, bukan cuma gue yang trauma. Nakesnya juga ikutan trauma!

Tapi akhirnya, setelah segala drama dan pergumulan lahir batin, berhasil juga loh gue diswab! Gue lega banget, tapi yang lebih lega lagi adalah para nakes yang nge-swab gue tentunya. Wajah-wajah mereka yang penuh kesabaran dan kehangatan telah berubah menjadi wajah-wajah sepet siap resign.

Abis diswab gue minta maaf dan berterimakasih ke nakes-nakes itu, gue keluar dari ruang swab, dan nunggu sekitar 10 menitan sampai hasilnya keluar.

Gue dipanggil sama salah satu nakes untuk ngeliat hasilnya.

“Bu…, maaf…, hasilnya positif,” ujarnya.

“Po…, positif…?”

“Iya, Bu, positif kerasukan setan.”

 Ternyata gue emang dirukiyah!

Pantesan aja tadi nusuknya dalem banget! Ternyata gue bukan diswab, tapi dipasangin paku lewat idung!

 

(to be continued! Percaya lah! Masih banyak drama seputar nyokap gue kena stroke)

Selasa, 29 Maret 2022

Leave Me Alone

 Tuesday, March 29, 2022:

All that was left in a hurry

The bed that wasn't made

The mugs that weren't washed

Things that weren't done properly

The words that were left unsaid

and the ones that were said but shouldn't be


:

This is probably one of the hardest times in my life, and I just want to be left alone.

Like, yes please, help me, help us financially and physically by all means. But I'm emotionally exhausted to see someone I love in a bad condition. I'm emotionally exhausted to be so close to losing someone I love. And I just need people to stop asking questions.

Why TF would people want to know what happened? Why TF do I have to explain everything to everyone?

If I hardly ever say anything to the ones in their hardest time, it's because I want to be left alone in my own hardest time.

I know people mean well, and it's really not their faults. They're just being very kind and I'm grateful for all the material and physical helps. I don't hate them at all. I know they care about me, about us. I just hate the fact that in my hardest time, being left alone is the only thing I need.

I won't refuse the money, but I really don't fucking need to talk. I fucking hate talking about my problem, especially when I fucking know that the talk won't solve any fucking thing. It's fucking annoying.

The only moral support I need in my hardest time is silence. And some cash.