Kamis, 18 Juli 2013

Orangtua yang Luar Biasa

Tidak seperti empat postingan terakhir, postingan saya kali ini hanya ingin bercerita saja mengenai ayah saya dan orangtuanya, karena saya sangat bangga pada mereka, mengidolakan mereka, dan berterimakasih pada mereka atas cara mereka mempengaruhi hidup saya.

Saya seringkali menulis mengenai ayah saya. Ayah saya adalah sosok yang luar biasa bagi saya. Sejak kecil, saya mengagumi beliau karena beliau ini orangnya serba bisa. Mulai dari matematika, musik, seni rupa, ilmu bumi, sejarah, pokoknya minat dan wawasan beliau sangat luas. Beliau juga orang yang telah berhasil menghidupi keluarganya dengan serba berkecukupan. Ayah saya juga gagah, awet muda, pokoknya bangga lah punya ayah seperti ayah saya.

Tapi itu semua hanya apa yang bisa dilihat dari luar. Ada banyak pria lain di luar sana yang gagah, tampan, mapan, dan serba bisa. Apa yang membuatnya sangat istimewa?
Bagi saya, yang membuat Ayah saya sangat istimewa adalah caranya mendidik dan membesarkan anak.

Pada dasarnya, ayah saya adalah seorang yang cerdas, bijak, filosofis, dan reflektif. Beliau adalah ayah yang luar biasa hebat dan saya yakin, saya bukan beranggapan demikian karena beliau ayah saya sendiri.

Apa hal yang biasa menjadi topik pembicaraan antara anda dengan ayah anda sehari-hari?

Ayah seringkali bicara mengenai filsafat kehidupan dan hal-hal yang berhubungan dengan refleksi diri. Ayah saya senang membaca dan berpikir. Kadang beliau berbagi pikirannya melalui tulisan. Seringnya pikiran-pikiran itu dibagi juga melalui pembicaraan dengan saya dan adik-adik.

Seringkali, saat sarapan bersama di meja makan, ayah melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Yang dimaksud seorang intelektual, itu orang yang bagaimana sih?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat saya dan adik-adik berpikir. Pada saat-saat seperti itulah kami saling bertukar pikiran.
Ayah saya itu senang mengobrol. Tapi obrolannya bukan sekedar obrolan ngalor-ngidul yang buntut-buntutnya gosipin orang. Bahkan pada saat kami gosipin orang pun, ujung-ujungnya akan kembali pada refleksi diri. Iya, tetap saja gosipin orang itu tidak baik, dosa.

Ternyata, ayah saya pun memiliki sepasang orangtua yang luar biasa hebat, apalagi untuk ukuran masa itu.
Ayah dan ibu saya sering bercerita mengenai orangtua mereka. Dan saya melihat betapa hebatnya orangtua ayah saya, yang saya panggil Opa dan Uti semasa mereka masih ada.

Opa dan Uti mendidik ayah saya dan saudara-saudaranya dengan metode pendidikan yang sangat modern. Di saat orangtua lain masih mendisiplinkan anak-anak mereka dengan cara memukul, Opa dan Uti sudah tidak pernah melakukannya.

Orangtua lain, pada masa itu, bahkan masih banyak orangtua masa kini, ketika bilang sesuatu, atau melarang sesuatu, pokoknya larang saja. Disuruh A ya anak harus lakukan A. Dilarang B ya anak jangan lakukan B. Anak harus nurut, titik. Kenapa? Ya pokoknya begitu. Namanya orangtua, pasti semua yang dikatakan pada anaknya, maksudnya pasti baik. Tapi cara penyampaiannya bisa saja salah.

Opa dan Uti, tidak mendikte atau melarang-larang anak-anak mereka. Opa dan Uti selalu memberi pemahaman mengenai hal-hal yang baik maupun buruk, dan memberi kepercayaan pada anak-anak untuk memilih apa yang menurut mereka lebih baik. Nyatanya, anak-anak mereka pun tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika diberikan pemahaman yang cukup mengenai hal-hal yang baik maupun yang buruk, anak-anak paham apa konsekuensi dari setiap pilihan mereka, maka biarpun diberi kebebasan, mereka akan tetap memilih yang baik.

Terutama yang paling saya kagum dari Opa dan Uti, mereka tidak pernah mendorong anak-anak untuk segera menikah. Orangtua jaman sekarang saja masih banyak yang menyuruh-nyuruh anak-anak mereka untuk segera menikah. Akibatnya, banyak pernikahan yang terlalu dipaksakan. Banyak orang yang terpaksa menikahi orang yang tidak dicintainya, hanya karena sudah dikejar target. Dan bagi yang tetap idealis ingin menikah dengan orang yang diinginkan, malah jadi stress sendiri ketika jodoh yang ditunggu tidak kunjung datang.

Tapi Opa dan Uti tidak seperti itu. Mereka tidak pernah memusingkan kapan anak-anak mereka akan menikah. Mereka lebih menekankan pada anak-anak untuk menjadi orang yang mandiri, punya prinsip, dan kritis. Mereka tidak mendorong anak-anak untuk menikah, tapi mendorong anak-anak untuk mengejar ilmu, mencari pengalaman hidup, berkeliling dunia, dan menjalankan apapun yang menjadi passion (apa ya bahasa Indonesia yang tepat?) mereka masing-masing. Opa dokter gigi, tapi anak-anaknya ada yang sekolah pilot (ayah saya), sekolah make up, fashion, dokter umum, dan ada juga yang tetap ingin meneruskan jejak menjadi dokter gigi. Yang pasti, semua bahagia dengan pilihan masing-masing. Saudara-saudara ayah saya wanita-wanita karir yang mandiri, dan ketika mereka menjadi seorang ibu rumah tangga, mereka menjadi ibu rumah tangga yang luar biasa. Mereka tidak lantas meremehkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Karena Uti pun seorang ibu rumah tangga yang ideal dan serba bisa.

Yah, soal menikah, sekali lagi, baik dan buruk itu kan persepsi. Mungkin di luar sana ada saja yang beranggapan, menikah dengan orang yang tidak dicintai lebih baik daripada tidak sama sekali. Tapi menurut saya pribadi, menikah itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.
Saudara-saudara ayah saya ada yang menikah muda, ada yang menikah cukup tua. Tapi semuanya bahagia dengan pasangan hidupnya masing-masing. Saya melihat pernikahan-pernikahan dalam keluarga ayah saya semuanya begitu indah, penuh cinta dan pengertian.

Maka ayah dan ibu saya pun tidak pernah mendesak anak-anaknya untuk segera menikah. Bagi mereka itu bukanlah hal yang penting. Yang lebih penting adalah menjadi orang yang baik dan berguna bagi orang lain.
Saya tidak sempat benar-benar mengenal Opa. Beliau meninggal saat saya masih kelas 5 SD. Saya dekat dengan Opa. Saya juga ingat betapa sayangnya Opa pada saya, dan betapa sayangnya saya pada Opa. Tapi saya belum sempat cukup memiliki pemahaman mengenai seperti apa Opa. Saya hanya ingat beliau sebagai kakek yang begitu menyenangkan, seperti kakek-kakek idaman dalam film.

Ternyata, Opa saya itu orangnya persis ayah saya. Opa itu cerdas dan filosofis. Ternyata, bagaimana ayah saya bicara dengan anak-anak beliau, seperti itulah Opa bicara pada anak-anak beliau. Opa sering membicarakan hal-hal yang filosofis, membiarkan anak-anaknya untuk memiliki pemikiran-pemikiran yang mendalam mengenai berbagai hal.

Opa dan Uti senang membaca buku. Ayah dan saudara-saudaranya pun senang membaca buku. Ketika saya bicara dengan saudara-saudara dari ayah saya, kami tidak hanya bercanda dan bertukar informasi terbaru, namun juga saling bertukar pikiran.


Ternyata, ketika menjadi orangtua, seseorang akan meniru cara orangtuanya menjadi orangtua. Mereka akan belajar banyak baik-buruknya cara orangtua mereka mendidik dan membesarkan mereka. Baik ayah maupun ibu saya begitu mengagumi cara kedua orangtua mereka mendidik mereka. Alhasil, ayah saya mendidik kami dengan cara orangtuanya, dan ibu saya mencoba mendidik kami dengan cara orangtuanya.

Saya melihat bahayanya bila seseorang dididik dengan cara yang kurang baik, lalu mereka mengagumi orangtuanya, sehingga merasa bahwa cara didik orangtuanya sudah benar. Ada anak yang sangat dimanjakan dengan materi oleh kedua orangtuanya. Anak itu sangat bangga dan senang karena orangtuanya memanjakan dengan materi. Maka, saat memiliki anak, ia pun akan memanjakan anaknya dengan materi.

Seorang anak tentara sangat bangga dengan ayahnya yang begitu keras dalam mendidik anak. Semasa kecil, kalau ia dan saudara-saudaranya tidak duduk dengan tegak, maka punggungnya akan dipukul. Maka ketika ia menjadi orangtua, ia pun akan mudah untuk memukul anaknya.

Ada orangtua yang sangat penuh dengan curiga dan ketakutan, karena begitu ingin melindungi anaknya. Ternyata sang anak begitu mengidolakan si orangtua. Maka ketika menjadi orangtua, anak itu pun menjadi penuh curiga dan ketakutan, karena dikiranya itulah cara terbaik untuk melindungi anaknya.

Anak dari orangtua yang rasis kemungkinan besar akan menjadi rasis. Anak dari orangtua yang pemarah kemungkinan besar akan menjadi orang yang pemarah. Bagaimana cara orangtua bicara pada anaknya, kemungkinan besar akan seperti itulah cara bicara sang anak kelak.

Sebagian besar anak begitu mengidolakan orangtua mereka, termasuk saya. Karena itu, berhati-hatilah saat menjadi orangtua. Saya pernah bertanya pada diri saya di masa lalu, "Menjadi baik atau menjadi jahat itu pilihan. Tapi, saat punya anak nanti, manakah yang akan saya pilih?" Jawabannya tentu menjadi orang baik.

Bicara soal orangtua yang luar biasa, saya percaya, hampir semua orangtua (mungkin sekitar 75%) menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Apapun yang mereka lakukan pada anak, adalah yang menurut mereka terbaik. Hanya saja, masih banyak orang yang merasa cukup puas dengan meniru cara orangtua mereka mendidik mereka. Mereka merasa tidak perlu untuk belajar lebih banyak mengenai menjadi orangtua yang baik.

Untungnya, seiring perkembangan jaman, semakin banyak pula orang yang sadar untuk mempelajari cara-cara terbaik untuk mendidik dan membesarkan anak. Saya pun yakin, orangtua ayah saya pasti belajar cara mendidik anak yang baik, sehingga mereka bisa menerapkan cara yang begitu luar biasa dalam mendidik anak-anak mereka. Dan yang perlu dilakukan oleh anak-anak mereka tinggal meniru orangtuanya.
Terimakasih, Opa dan Uti. :)

Rabu, 17 Juli 2013

Hijab

Suatu hari pernah muncul sebuah pertanyaan dalam benak saya, “Seandainya setiap orang di muka bumi ini telanjang, apakah saya akan malu untuk menjadi satu-satunya orang yang mengenakan pakaian?”

Ada beberapa orang di sekitar saya yang mengatakan sesuatu yang negatif mengenai orang-orang, terutama wanita, yang mengenakan pakaian minim. Menurut mereka, wanita-wanita itu terlalu banyak mengumbar tubuhnya. Kadang sesama wanita sering mengomentari betapa pendeknya celana atau rok wanita lain, belahan dada si anu terlihat jelas, bule suka berpakaian terbuka sehingga banyak terjadi seks bebas, dan sebagainya. Anehnya, pada saat yang sama mereka juga menganggap bahwa wanita tidak seharusnya berhijab yang kainnya panjang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan.

Memang benar, lebih hebat, lebih baik, apabila pria-pria dapat menahan nafsu saat di kondisi ‘normal’ seperti sekarang ini, di mana wanitanya telanjang tidak, pakai hijab juga tidak. Alangkah lebih mudah bagi para pria untuk menahan nafsu saat semua manusia menggunakan hijab. Sehingga, kalau seorang pria terbiasa melihat semua wanita menggunakan hijab, ketika melihat sedikit saja bagian tubuh wanita, yang mungkin hanya jempol kaki, sang pria tersebut bisa langsung nafsu.

Mungkin saja itu benar. Mungkin juga tidak.
Apakah hijab membuat wanita jadi lebih tidak menggairahkan? Apakah itu tujuannya? Untuk menghormati pria? Untuk menjaga agar pria tidak berbuat dosa?

Kalau dilihat seperti itu, jelas saja para wanita akan memprotes. Pria yang nafsu, pria yang dosa, kok wanita yang disalahkan? Kok wanita yang harus menjaga? Bagaimana dengan prianya? Lalu hijab dianggap sebagai sebuah bentuk pengekangan terhadap hak asasi wanita. Hak asasi yang mana?

Saya pernah membaca sebuah buku panduan berwisata yang ditulis oleh seorang wanita berhijab. Dalam buku itu, sang penulis berkisah, seorang temannya yang bule bertanya padanya, “Mengapa orang-orang muslim mengekang wanitanya dengan mewajibkan berpakaian seperti itu?”

Si penulis menjawab, saya lupa kata-kata persisnya, intinya, “Siapa bilang saya dikekang? Kalau saya tidak mau memperlihatkan tubuh saya, bagaimana? Itu kan hak saya.”

Saya tidak memandang hijab sebagai cara untuk menahan nafsu pria. Nafsu dan kegairahan itu sifatnya begitu relatif. Ada pria yang melihat wanita telanjang malah tidak bernafsu, justru kalau mengenakan sedikit pakaian, lebih membuat nafsu. Ada pria yang lebih bernafsu dengan wanita yang mengenakan seragam sekolah. Ada pria yang lebih bernafsu pada wanita yang mengenakan kostum ayam. Selera orang dalam soal nafsu begitu berbeda. Bahkan, ada lho, pria yang bernafsu melihat wanita berhijab.

Nafsu seksual pria itu akan selalu ada, tidak saja pada wanita, tapi juga pada sesama pria, anak kecil, bahkan pada yang bukan manusia sekalipun.

Jadi hijab bukanlah untuk merendahkan posisi wanita, untuk memberi wanita beban yang begitu berat, yaitu menjaga nafsu birahi para pria, bukan.

Hijab adalah cara wanita untuk menghormati bagian-bagian tubuhnya sendiri. Karena mereka yang mengenakan hijab, begitu menghargai setiap inci bagian tubuhnya sehingga tidak menginginkan siapapun untuk melihat bagian tubuh yang mereka hargai.

Saya sendiri tidak mengenakan hijab. Saya berpakaian seperti wanita pada umumnya, kadang mengenakan celana panjang dan kemeja, kadang lengan pendek. Kadang saya juga mengenakan rok selutut. Bayangkan saja, bagaimana kalau ada orang yang berkata pada saya, “Star, elo kok mau aja dikekang, suruh pakai baju seperti itu? Apa lo nggak pingin pakai baju yang lebih ‘bebas’? Memang dada lo harus ditutupin ya? Nggak panas?”

Apakah saya merasa terkekang harus menutupi dada, perut, dan punggung saya? Apakah pakaian saya menutupi sebagian tubuh saya agar tidak ada pria yang bernafsu? Tidak. Saya hanya tidak ingin memberikan orang lain akses untuk melihat bagian-bagian tubuh yang saya tutupi.

Dan ternyata, semakin maju peradaban, para wanita semakin memperlonggar batasan-batasan mereka untuk bagian tubuh yang diperbolehkan untuk diperlihatkan pada pria. Wanita pada awal abad 20 tidak mau memperlihatkan lengan, paha, bahkan betis mereka. Tidak ada yang mengenakan pakaian yang memperlihatkan lengan, paha, dan betis mereka karena pada saat itu, lengan dan kaki adalah bagian tubuh yang memalukan untuk terlihat. Di dekade 1920 – 1930 wanita mulai memperlihatkan punggung, lengan, dan sebagian kaki mereka. Setelah perang dunia ke dua, batasan-batasan itu semakin longgar. Para wanita mulai mengenakan rok-rok mini dan atasan tanpa lengan. Dan sekarang, Lady Gaga bisa jalan dengan gagahnya hanya dengan mengenakan celana dalam.

Ada pria yang ingin melihat wanita hanya mengenakan pakaian dalam? Ada wanita yang ingin berkesempatan memamerkan payudaranya tanpa harus menjadi model majalah pria dewasa? Mudah. Buatlah itu menjadi trend. Buatlah seolah wanita yang menutupi payudaranya adalah wanita yang terjajah hak asasinya.


Seandainya setiap orang di muka bumi ini telanjang, apakah kita akan malu untuk menjadi satu-satunya orang yang mengenakan pakaian? Ya. Mungkin saja kita akan malu.

Senin, 15 Juli 2013

Yang Maskulin Selalu Lebih Baik (?)

Artikel di bawah ini sebenarnya adalah sebuah artikel yang saya tulis bertahun-tahun lalu di kamar kosan saya semasa kuliah. Artikel ini kemudian saya muat di link berikut:


Dan entah mengapa tidak saya masukan di blog saya sendiri. Jadi sekarang saya akan memuatnya kembali di sini.

:

Yang Maskulin Selalu Lebih Baik (?)

Apa yang muncul di pikiran anda saat mendengar kata ‘banci’?
Dan apa yang muncul di pikiran anda saat mendengar kata ‘wanita tomboi’?
Saya bisa bilang, mayoritas pembaca mungkin mengerutkan kening dengan rasa geli atau tidak suka ketika mendengar kata ‘banci’, dan mungkin biasa saja, atau malah tertarik mendengar kata ‘wanita tomboi’.

Saya merasa beruntung menjadi wanita. Mengapa? Karena bila wanita melakukan apa yang biasa dilakukan pria, maka orang-orang akan kagum. Kebetulan saya menyukai olahraga-olahraga tertentu yang lebih banyak disukai oleh pria. Dan ternyata, bagi sebagian besar orang, itu malah menjadi daya tarik saya.
Ironisnya, bila ada pria yang menyukai hal-hal yang biasanya disukai wanita, yang terjadi justru sebaliknya. Pria itu akan dianggap banci dan dicemooh. Seringkali saya mendengar komentar seperti, “Ih, itu cowok tapi kok dandan banget?” Seriously? What is so wrong with that actually? Apakah salah ketika seseorang ingin tampil rapi dan enak dipandang?

Jujur saja, yang saya lihat, kebanyakan wanita lebih senang bila dianggap tomboi, beberapa pria lebih suka kalau pasangannya agak tomboi, sementara mungkin semua wanita mendambakan pria yang ‘cowok banget’, dan tentu tidak ada pria yang senang dianggap banci. Kata ‘banci’ memiliki konotasi negatif karena merepresentasikan sisi feminine dari seorang pria.

Ketika seorang pria berani menyakiti seorang wanita, maka komentar orang-orang, “Beraninya sama wanita! Dasar banci!”
Ketika seorang pria menunjukkan sifat pengecut, maka ia akan dibilang banci. Ketika seorang pria manja, ia dibilang banci. Bahkan pria juga bisa melakukan apapun dengan ancaman ‘dibilang banci’.

Sementara seorang wanita yang mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain, dibilang ‘tomboi’. Wanita yang serba simple dan praktis, dibilang ‘tomboi’. Wanita yang suka olahraga, dibilang ‘tomboi’.
Begitu banyak hal negatif yang dikonotasikan dengan kata ‘banci’, sementara begitu banyak hal positif yang dikonotasikan dengan kata ‘tomboi’.

Memperhatikan penampilan, ingin tampil bagus di mata pasangan, sensitif, memperhatikan pasangan dengan detail, bagi saya adalah sifat-sifat yang identik dengan wanita, dan merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif. Namun, bila pria melakukannya, orang tidak akan menyebutnya ‘banci’, atau ‘feminine’, karena menyebut pria ‘banci’ atau ‘feminine’ bukanlah sebuah pujian bagi masyarakat umum. Pria itu akan dianggap pria idaman saja, bukan pria feminine.

Sementara, suka gonta-ganti pasangan, yang notabenenya identik dengan pria, bila wanita yang melakukan, wanita itu tidak akan disebut ‘tomboi’, tapi malah dicap ‘murahan’.
Ketika orang-orang mengetahui kegemaran saya bermain sepakbola, mereka dengan mudah menyebut saya tomboi, padahal saya feminine, dan saya tidak merasa itu sebagai pujian. Sementara ketika saya melihat seorang pria yang lembut, sensitif, dan perhatian, saya tidak bisa memujinya, “Wah, saya kagum pada anda, anda feminine sekali.” Ia pasti malah akan tersinggung.

Masyarakat melihat maskulin sebagai sifat-sifat pemberani, praktis, berpikir dengan logika, mandiri, kuat, bertanggung jawab.
Mengapa kita tidak melihat feminitas dari sisi yang lebih baik, seperti kelembutan, intuisi, sensitifitas, pengertian, detail.
Jadi, sekali lagi, masalahnya di sini adalah, mengapa ‘tomboi’ itu pujian dan ‘banci’ itu cercaan?

Sabtu, 13 Juli 2013

Lucu

Akhir-akhir ini saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu saya daripada biasanya. Kami banyak mengobrol mengenai berbagai hal yang memberikan saya pelajaran berharga. Salah satu yang sering menjadi bahan perbincangan kami adalah seorang paman ibuku yang tinggal di Belanda.

Paman ibuku ini orangnya agak eksentrik. Usianya sudah begitu tua, 84 tahun, laki-laki (ya, iya lah, namanya juga paman, bukan bibi), tidak pernah menikah, sudah tinggal seorang diri di Belanda sejak muda. Ia tidak punya teman, tidak senang bergaul, penuh rasa curiga, dan selalu ketakutan. Paman ibuku ini sudah buta karena terkena katarak, dan kini tinggal di sebuah panti jompo di Belanda sana.

Saya pernah beberapa kali mengunjungi panti jompo tersebut bersama ibu dan sepupu saya. Paman ibu saya itu pun beberapa kali pernah berlibur ke Indonesia. Saya melihat, orang-orang yang mengenalnya, termasuk saya, sependapat bahwa pria tua ini sudah pikun, tidak tahu apa-apa, selalu mengeluh mengenai kehidupan dip anti jompo, tapi tidak pernah betah berlama-lama di Indonesia, nyinyir, keras kepala, dan sebagainya.

Nah, apakah ibu saya pernah bicara sesuatu yang jelek sedikitpun tentang pamannya? Tidak!

Ibu saya begitu mencintai pamannya. Setiap tahun ibuku selalu menyempatkan untuk mengunjungi pamannya, karena begitu sayangnya pada sang paman. Dengan sabar dirawatnya sang paman yang buta, dimanjakan, dibuat senang. Setiap perkataan ibuku mengenai pamannya adalah kata-kata yang begitu baik, begitu menghormati, begitu menyanjung sang paman.

Ibu saya ini orangnya polos. Beliau bukan orang yang memikirkan lebih dulu apa yang dilakukan maupun yang dikatakannya. Jadi, apa yang keluar dari mulutnya selalu adalah apa yang benar-benar dirasakannya. Ketika beliau berbuat baik pada seseorang, kebaikannya begitu tulus. à There! Finally I have something good to say about my mother…hehe joking… love you Mom :*

Nah sekarang, siapa yang pernah mendengar kata-kata bijak “Jika kamu tidak bisa mengubah seseorang, ubahlah cara pandangmu terhadap orang tersebut.”

Paman dari ibu saya itu sudah puluhan tahun memiliki kepribadian yang demikian. Tidak akan ada seorangpun yang mampu mengubahnya menjadi kepribadian yang lebih baik. Kebetulan, ibu saya pun tentunya tidak merasa kepribadian pamannya perlu diubah. Yang dilakukan ibu saya, secara tidak sadar, adalah melihat pribadi pamannya dari sisi yang berbeda. Begitu besarnya kasih ibu saya kepada sang paman, sehingga semua kelakuannya, yang didefinisikan setiap orang lainnya sebagai keras kepala, sok tahu, angkuh, penuh curiga, didefinisikan ibu saya hanya dengan sebuah kata ‘Lucu’.

Ketika seseorang mengawali cerita mengenai sang paman dengan kata-kata, “Benar-benar orangtua yang nyinyir…”, maka ibu saya akan mengawali cerita yang sama persis dengan kata-kata, “Opa lucu sekali deh…”

Begitulah cara ibuku memandang paman yang sangat dicintainya.

Berikutnya mengenai sepupu saya. Sepupu saya adalah seorang anak tunggal yang begitu disayang oleh kedua orangtuanya. Sepupu saya ini pun begitu mencintai kedua orangtuanya. Walaupun begitu, ada kalanya, terjadi hal-hal yang membuat orangtuanya marah-marah.

Saya sebagai anak, ketika dimarahi oleh orangtua, reaksi yang biasa terjadi adalah curhat tentang orangtua. “Orangtua saya begini, orangtua saya begitu, saya adalah anak paling tidak beruntung di dunia, dan sebagainya.” Tapi saya melihat, ketika sepupu saya bicara mengenai orangtua yang memarahinya, satu kata yang digunakan untuk menggambarkan orangtuanga, “Lucu.”

Sepupu saya akan bercerita dengan penuh sukacita betapa lucunya kedua orangtuanya saat marah-marah, persis seperti seorang ibu yang bercerita dengan penuh kasih mengenai anak balitanya yang nakal.

Begitu juga dengan ayah saya. Pada suatu ketika, ayah saya sedang berada di dalam mobil yang dikemudikan adik saya, di tengah-tengah jalan raya yang padat merayap. Tiba-tiba saja muncul seorang pengendara motor yang menyalip-nyalip di antara mobil dengan sempoyongan. Pengemudi mobil pada umumnya mungkin akan ketakutan atau misuh-misuh takut mobilnya tersenggol si motor yang sempoyongan. Tapi ayah saya malah tertawa dan membuat lelucon tentang pengemudi motor tersebut, yang akhirnya membuat adik saya tertawa. Sesuatu yang membuat senewen pun ternyata bisa menjadi sesuatu yang lucu kalau kita berpikir bahwa itu lucu.


Begitu juga dengan cara pandang ayah saya mengenai pensiun. Banyak orang, terutama pria, setelah pensiun, mengalami apa yang disebut sebagai 'Post Power Syndrome'. Itu karena kebanyakan orang memandang 'pensiun' sebagai akhir dari masa produktif, akhir dari... entahlah bagaimana mereka memandang pensiun.
Namun, bagi ayah saya, pensiun merupakan sebuah berkah yang disyukurinya. Ayah saya bisa berlibur dengan keluarga, bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga, menghabiskan waktu lebih banyak untuk hobinya bermain musik, dan sebagainya.

Karena itu, ketika saya mendengar banyak pria yang setelah pensiun menjadi lebih sensitif, lebih mudah marah, dan lebih menyebalkan, saya begitu bersyukur bahwa setelah pensiun, ayah saya justru jadi lebih bijak, dan bahkan jauh lebih sabar dalam menghadapi istri dan anak-anaknya (yang sering kurang ajar...hehe love you pop...)

Jadi, mengubah keadaan atau seseorang yang tidak mau berubah, memang sangatlah sulit. Dan belum tentu ada gunanya bagi kita. Dan tentu kita sendiri sadar bahwa kita belum cukup sempurna untuk bisa mengubah orang lain. Namun mengubah cara pandang kita mengenai orang lain atau suatu keadaan ternyata begitu mudahnya. Dan itu memberikan efek yang jauh lebih baik bagi kita. J

Orang yang Baru

Sudah sebulan lebih saya tidak menulis sesuatu yang baru di blog ini. Sebelumnya, walaupun sangat terlambat, saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Semoga berkah.

Setelah memperhatikan pola menulis saya, saya baru saja menyadari, setiap kali mulai kembali menulis, saya telah menjadi pribadi yang lebih baru, yang berbeda dengan sebelumnya. Tentu pribadi yang saya rasa lebih baik dari yang sebelumnya. Yah, mudah-mudahan benar-benar lebih baik, bukan perasaan saya saja. Karena kalau pribadi yang sebelumnya lebih baik, buat apa saya berubah.

Biarpun begitu, saya tidak akan menghapus apapun yang sudah pernah saya tulis di postingan sebelumnya, karena itu akan menjadi refleksi langkah demi langkah perubahan diri.

Kalau biasanya saya curhat atau cerita mengenai keseharian saya, sepertinya mulai post yang ini dan seterusnya, saya akan lebih banyak menulis mengenai pemikiran-pemikiran dan filosofi kehidupan yang saya pelajari selama ini.

Saya begitu beruntung, begitu diberkahi Tuhan, karena dikelilingi oleh orang-orang yang sangat luar biasa, di manapun saya berada, mulai dari rumah, sekolah, kuliah, lingkungan kerja, bahkan orang-orang yang saya temui di luar semua itu. Terutama akhir-akhir ini saya mengenal dengan sangat baik seorang penulis blog yang sangat cerdas. Beliau banyak memberikan pandangan baru yang begitu menyegarkan pada saya.

Semoga di tulisan-tulisan setelah ini saya tidak terkesan menggurui. Saya tidak merasa benar. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya pelajari dari orang-orang hebat di sekitar saya. Karena mungkin tidak semua orang dikelilingi oleh orang-orang hebat.