Senin, 15 Juli 2013

Yang Maskulin Selalu Lebih Baik (?)

Artikel di bawah ini sebenarnya adalah sebuah artikel yang saya tulis bertahun-tahun lalu di kamar kosan saya semasa kuliah. Artikel ini kemudian saya muat di link berikut:


Dan entah mengapa tidak saya masukan di blog saya sendiri. Jadi sekarang saya akan memuatnya kembali di sini.

:

Yang Maskulin Selalu Lebih Baik (?)

Apa yang muncul di pikiran anda saat mendengar kata ‘banci’?
Dan apa yang muncul di pikiran anda saat mendengar kata ‘wanita tomboi’?
Saya bisa bilang, mayoritas pembaca mungkin mengerutkan kening dengan rasa geli atau tidak suka ketika mendengar kata ‘banci’, dan mungkin biasa saja, atau malah tertarik mendengar kata ‘wanita tomboi’.

Saya merasa beruntung menjadi wanita. Mengapa? Karena bila wanita melakukan apa yang biasa dilakukan pria, maka orang-orang akan kagum. Kebetulan saya menyukai olahraga-olahraga tertentu yang lebih banyak disukai oleh pria. Dan ternyata, bagi sebagian besar orang, itu malah menjadi daya tarik saya.
Ironisnya, bila ada pria yang menyukai hal-hal yang biasanya disukai wanita, yang terjadi justru sebaliknya. Pria itu akan dianggap banci dan dicemooh. Seringkali saya mendengar komentar seperti, “Ih, itu cowok tapi kok dandan banget?” Seriously? What is so wrong with that actually? Apakah salah ketika seseorang ingin tampil rapi dan enak dipandang?

Jujur saja, yang saya lihat, kebanyakan wanita lebih senang bila dianggap tomboi, beberapa pria lebih suka kalau pasangannya agak tomboi, sementara mungkin semua wanita mendambakan pria yang ‘cowok banget’, dan tentu tidak ada pria yang senang dianggap banci. Kata ‘banci’ memiliki konotasi negatif karena merepresentasikan sisi feminine dari seorang pria.

Ketika seorang pria berani menyakiti seorang wanita, maka komentar orang-orang, “Beraninya sama wanita! Dasar banci!”
Ketika seorang pria menunjukkan sifat pengecut, maka ia akan dibilang banci. Ketika seorang pria manja, ia dibilang banci. Bahkan pria juga bisa melakukan apapun dengan ancaman ‘dibilang banci’.

Sementara seorang wanita yang mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain, dibilang ‘tomboi’. Wanita yang serba simple dan praktis, dibilang ‘tomboi’. Wanita yang suka olahraga, dibilang ‘tomboi’.
Begitu banyak hal negatif yang dikonotasikan dengan kata ‘banci’, sementara begitu banyak hal positif yang dikonotasikan dengan kata ‘tomboi’.

Memperhatikan penampilan, ingin tampil bagus di mata pasangan, sensitif, memperhatikan pasangan dengan detail, bagi saya adalah sifat-sifat yang identik dengan wanita, dan merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif. Namun, bila pria melakukannya, orang tidak akan menyebutnya ‘banci’, atau ‘feminine’, karena menyebut pria ‘banci’ atau ‘feminine’ bukanlah sebuah pujian bagi masyarakat umum. Pria itu akan dianggap pria idaman saja, bukan pria feminine.

Sementara, suka gonta-ganti pasangan, yang notabenenya identik dengan pria, bila wanita yang melakukan, wanita itu tidak akan disebut ‘tomboi’, tapi malah dicap ‘murahan’.
Ketika orang-orang mengetahui kegemaran saya bermain sepakbola, mereka dengan mudah menyebut saya tomboi, padahal saya feminine, dan saya tidak merasa itu sebagai pujian. Sementara ketika saya melihat seorang pria yang lembut, sensitif, dan perhatian, saya tidak bisa memujinya, “Wah, saya kagum pada anda, anda feminine sekali.” Ia pasti malah akan tersinggung.

Masyarakat melihat maskulin sebagai sifat-sifat pemberani, praktis, berpikir dengan logika, mandiri, kuat, bertanggung jawab.
Mengapa kita tidak melihat feminitas dari sisi yang lebih baik, seperti kelembutan, intuisi, sensitifitas, pengertian, detail.
Jadi, sekali lagi, masalahnya di sini adalah, mengapa ‘tomboi’ itu pujian dan ‘banci’ itu cercaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar