Kamis, 18 Juli 2013

Orangtua yang Luar Biasa

Tidak seperti empat postingan terakhir, postingan saya kali ini hanya ingin bercerita saja mengenai ayah saya dan orangtuanya, karena saya sangat bangga pada mereka, mengidolakan mereka, dan berterimakasih pada mereka atas cara mereka mempengaruhi hidup saya.

Saya seringkali menulis mengenai ayah saya. Ayah saya adalah sosok yang luar biasa bagi saya. Sejak kecil, saya mengagumi beliau karena beliau ini orangnya serba bisa. Mulai dari matematika, musik, seni rupa, ilmu bumi, sejarah, pokoknya minat dan wawasan beliau sangat luas. Beliau juga orang yang telah berhasil menghidupi keluarganya dengan serba berkecukupan. Ayah saya juga gagah, awet muda, pokoknya bangga lah punya ayah seperti ayah saya.

Tapi itu semua hanya apa yang bisa dilihat dari luar. Ada banyak pria lain di luar sana yang gagah, tampan, mapan, dan serba bisa. Apa yang membuatnya sangat istimewa?
Bagi saya, yang membuat Ayah saya sangat istimewa adalah caranya mendidik dan membesarkan anak.

Pada dasarnya, ayah saya adalah seorang yang cerdas, bijak, filosofis, dan reflektif. Beliau adalah ayah yang luar biasa hebat dan saya yakin, saya bukan beranggapan demikian karena beliau ayah saya sendiri.

Apa hal yang biasa menjadi topik pembicaraan antara anda dengan ayah anda sehari-hari?

Ayah seringkali bicara mengenai filsafat kehidupan dan hal-hal yang berhubungan dengan refleksi diri. Ayah saya senang membaca dan berpikir. Kadang beliau berbagi pikirannya melalui tulisan. Seringnya pikiran-pikiran itu dibagi juga melalui pembicaraan dengan saya dan adik-adik.

Seringkali, saat sarapan bersama di meja makan, ayah melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Yang dimaksud seorang intelektual, itu orang yang bagaimana sih?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat saya dan adik-adik berpikir. Pada saat-saat seperti itulah kami saling bertukar pikiran.
Ayah saya itu senang mengobrol. Tapi obrolannya bukan sekedar obrolan ngalor-ngidul yang buntut-buntutnya gosipin orang. Bahkan pada saat kami gosipin orang pun, ujung-ujungnya akan kembali pada refleksi diri. Iya, tetap saja gosipin orang itu tidak baik, dosa.

Ternyata, ayah saya pun memiliki sepasang orangtua yang luar biasa hebat, apalagi untuk ukuran masa itu.
Ayah dan ibu saya sering bercerita mengenai orangtua mereka. Dan saya melihat betapa hebatnya orangtua ayah saya, yang saya panggil Opa dan Uti semasa mereka masih ada.

Opa dan Uti mendidik ayah saya dan saudara-saudaranya dengan metode pendidikan yang sangat modern. Di saat orangtua lain masih mendisiplinkan anak-anak mereka dengan cara memukul, Opa dan Uti sudah tidak pernah melakukannya.

Orangtua lain, pada masa itu, bahkan masih banyak orangtua masa kini, ketika bilang sesuatu, atau melarang sesuatu, pokoknya larang saja. Disuruh A ya anak harus lakukan A. Dilarang B ya anak jangan lakukan B. Anak harus nurut, titik. Kenapa? Ya pokoknya begitu. Namanya orangtua, pasti semua yang dikatakan pada anaknya, maksudnya pasti baik. Tapi cara penyampaiannya bisa saja salah.

Opa dan Uti, tidak mendikte atau melarang-larang anak-anak mereka. Opa dan Uti selalu memberi pemahaman mengenai hal-hal yang baik maupun buruk, dan memberi kepercayaan pada anak-anak untuk memilih apa yang menurut mereka lebih baik. Nyatanya, anak-anak mereka pun tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika diberikan pemahaman yang cukup mengenai hal-hal yang baik maupun yang buruk, anak-anak paham apa konsekuensi dari setiap pilihan mereka, maka biarpun diberi kebebasan, mereka akan tetap memilih yang baik.

Terutama yang paling saya kagum dari Opa dan Uti, mereka tidak pernah mendorong anak-anak untuk segera menikah. Orangtua jaman sekarang saja masih banyak yang menyuruh-nyuruh anak-anak mereka untuk segera menikah. Akibatnya, banyak pernikahan yang terlalu dipaksakan. Banyak orang yang terpaksa menikahi orang yang tidak dicintainya, hanya karena sudah dikejar target. Dan bagi yang tetap idealis ingin menikah dengan orang yang diinginkan, malah jadi stress sendiri ketika jodoh yang ditunggu tidak kunjung datang.

Tapi Opa dan Uti tidak seperti itu. Mereka tidak pernah memusingkan kapan anak-anak mereka akan menikah. Mereka lebih menekankan pada anak-anak untuk menjadi orang yang mandiri, punya prinsip, dan kritis. Mereka tidak mendorong anak-anak untuk menikah, tapi mendorong anak-anak untuk mengejar ilmu, mencari pengalaman hidup, berkeliling dunia, dan menjalankan apapun yang menjadi passion (apa ya bahasa Indonesia yang tepat?) mereka masing-masing. Opa dokter gigi, tapi anak-anaknya ada yang sekolah pilot (ayah saya), sekolah make up, fashion, dokter umum, dan ada juga yang tetap ingin meneruskan jejak menjadi dokter gigi. Yang pasti, semua bahagia dengan pilihan masing-masing. Saudara-saudara ayah saya wanita-wanita karir yang mandiri, dan ketika mereka menjadi seorang ibu rumah tangga, mereka menjadi ibu rumah tangga yang luar biasa. Mereka tidak lantas meremehkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Karena Uti pun seorang ibu rumah tangga yang ideal dan serba bisa.

Yah, soal menikah, sekali lagi, baik dan buruk itu kan persepsi. Mungkin di luar sana ada saja yang beranggapan, menikah dengan orang yang tidak dicintai lebih baik daripada tidak sama sekali. Tapi menurut saya pribadi, menikah itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.
Saudara-saudara ayah saya ada yang menikah muda, ada yang menikah cukup tua. Tapi semuanya bahagia dengan pasangan hidupnya masing-masing. Saya melihat pernikahan-pernikahan dalam keluarga ayah saya semuanya begitu indah, penuh cinta dan pengertian.

Maka ayah dan ibu saya pun tidak pernah mendesak anak-anaknya untuk segera menikah. Bagi mereka itu bukanlah hal yang penting. Yang lebih penting adalah menjadi orang yang baik dan berguna bagi orang lain.
Saya tidak sempat benar-benar mengenal Opa. Beliau meninggal saat saya masih kelas 5 SD. Saya dekat dengan Opa. Saya juga ingat betapa sayangnya Opa pada saya, dan betapa sayangnya saya pada Opa. Tapi saya belum sempat cukup memiliki pemahaman mengenai seperti apa Opa. Saya hanya ingat beliau sebagai kakek yang begitu menyenangkan, seperti kakek-kakek idaman dalam film.

Ternyata, Opa saya itu orangnya persis ayah saya. Opa itu cerdas dan filosofis. Ternyata, bagaimana ayah saya bicara dengan anak-anak beliau, seperti itulah Opa bicara pada anak-anak beliau. Opa sering membicarakan hal-hal yang filosofis, membiarkan anak-anaknya untuk memiliki pemikiran-pemikiran yang mendalam mengenai berbagai hal.

Opa dan Uti senang membaca buku. Ayah dan saudara-saudaranya pun senang membaca buku. Ketika saya bicara dengan saudara-saudara dari ayah saya, kami tidak hanya bercanda dan bertukar informasi terbaru, namun juga saling bertukar pikiran.


Ternyata, ketika menjadi orangtua, seseorang akan meniru cara orangtuanya menjadi orangtua. Mereka akan belajar banyak baik-buruknya cara orangtua mereka mendidik dan membesarkan mereka. Baik ayah maupun ibu saya begitu mengagumi cara kedua orangtua mereka mendidik mereka. Alhasil, ayah saya mendidik kami dengan cara orangtuanya, dan ibu saya mencoba mendidik kami dengan cara orangtuanya.

Saya melihat bahayanya bila seseorang dididik dengan cara yang kurang baik, lalu mereka mengagumi orangtuanya, sehingga merasa bahwa cara didik orangtuanya sudah benar. Ada anak yang sangat dimanjakan dengan materi oleh kedua orangtuanya. Anak itu sangat bangga dan senang karena orangtuanya memanjakan dengan materi. Maka, saat memiliki anak, ia pun akan memanjakan anaknya dengan materi.

Seorang anak tentara sangat bangga dengan ayahnya yang begitu keras dalam mendidik anak. Semasa kecil, kalau ia dan saudara-saudaranya tidak duduk dengan tegak, maka punggungnya akan dipukul. Maka ketika ia menjadi orangtua, ia pun akan mudah untuk memukul anaknya.

Ada orangtua yang sangat penuh dengan curiga dan ketakutan, karena begitu ingin melindungi anaknya. Ternyata sang anak begitu mengidolakan si orangtua. Maka ketika menjadi orangtua, anak itu pun menjadi penuh curiga dan ketakutan, karena dikiranya itulah cara terbaik untuk melindungi anaknya.

Anak dari orangtua yang rasis kemungkinan besar akan menjadi rasis. Anak dari orangtua yang pemarah kemungkinan besar akan menjadi orang yang pemarah. Bagaimana cara orangtua bicara pada anaknya, kemungkinan besar akan seperti itulah cara bicara sang anak kelak.

Sebagian besar anak begitu mengidolakan orangtua mereka, termasuk saya. Karena itu, berhati-hatilah saat menjadi orangtua. Saya pernah bertanya pada diri saya di masa lalu, "Menjadi baik atau menjadi jahat itu pilihan. Tapi, saat punya anak nanti, manakah yang akan saya pilih?" Jawabannya tentu menjadi orang baik.

Bicara soal orangtua yang luar biasa, saya percaya, hampir semua orangtua (mungkin sekitar 75%) menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Apapun yang mereka lakukan pada anak, adalah yang menurut mereka terbaik. Hanya saja, masih banyak orang yang merasa cukup puas dengan meniru cara orangtua mereka mendidik mereka. Mereka merasa tidak perlu untuk belajar lebih banyak mengenai menjadi orangtua yang baik.

Untungnya, seiring perkembangan jaman, semakin banyak pula orang yang sadar untuk mempelajari cara-cara terbaik untuk mendidik dan membesarkan anak. Saya pun yakin, orangtua ayah saya pasti belajar cara mendidik anak yang baik, sehingga mereka bisa menerapkan cara yang begitu luar biasa dalam mendidik anak-anak mereka. Dan yang perlu dilakukan oleh anak-anak mereka tinggal meniru orangtuanya.
Terimakasih, Opa dan Uti. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar